Suara.com – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengirim surat terbuka untuk Presiden Joko Widodo (Jokowi). Surat bernomor 23/SK-KontraS/VII/2022 berisi desakan kepada Jokowi untuk memperbaiki kinerja dalam proses penuntasan pelanggaran HAM berat di Peristiwa Paniai 7 dan 8 Desember 2014.
Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti, dalam suratnya, menyebut, setelah Jokowi dua bulan menjabat sebagai presiden berkomitmen membawa kasus ini ke meja hijau. Hal itu dia katakan di hadapan Rakyat Papua pada 27 Desember 2014.
Fatia mengatakan, setelah delapan tahun peristiwa berlalu, seharusnya kualitas Pengadilan HAM atas Peristiwa Paniai bisa berjalan dengan benar. Sebab, itu akan membuktikan kualitas seorang Jokowi dalam memberikan keadilan bagi rakyat Papua.
“Merupakan momen dan tonggak penting membuktikan kesungguhan Bapak memberi keadilan bagi masyarakat Papua serta membuktikan janji Bapak,” kata Fatia sebagaimana dikutip dari laman kontras.org, Jumat (15/7/2022).
Baca Juga:
Persidangan Kasus Paniai Jadi Representasi Peradilan Pelanggaran HAM Berat
Pada faktanya, KontraS mendapat sejumlah catatan dari proses peradilan yang selama ini berjalan. Proses tersebut membuat publik dan penyintas dan keluarga korban meragukan terungkapnya kebenaran dan terwujudnya keadilan.
Pertama, Kejaksaan Agung hanya menetapkan satu orang tersangka tunggal yang bertanggung jawab secara hukum atas peristiwa Paniai. Padahal, kata Fatia, Komnas HAM sebagai Penyelidik telah menyebutkan beberapa kategori pelaku yang perlu diusut.
Misalnya, Komando Pembuat Kebijakan, Komando Efektif di Lapangan, Pelaku Lapangan, dan Pelaku Pembiaran.
“Sehingga jelas nampak mustahil bila hanya terdapat satu pelaku tunggal kekerasan terhadap seluruh korban yang jatuh. Menjadikan satu tersangka sebagai “kambing hitam” tentu saja membuat masyarakat meragukan keseriusan Pemerintahan Bapak dalam mengungkap kebenaran kasus ini,” ucap Fatia.
Kedua, berkas perkara kasus ini dilimpahakan oleh Kejaksaan Agung ke Pengadilan Negeri Makassar sebagai lokasi Pengadilan HAM. Padahal Pasal 45 UU 2/2021 jo. UU 21/2000 tentang Otonomi Khusus Papua jo. Pasal 3 ayat (1) UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM mengatur bahwasanya pelanggaran HAM berat di wilayah Papua harus diadili oleh Pengadilan HAM yang juga berlokasi di Papua.
Baca Juga:
Disorot Dunia, Amnesty Minta Pemerintah Tidak Formalitas Saja Usut Kasus Paniai Berdarah
KontraS menilai, pemilihan lokasi tentu sangat penting untuk memberikan akses bagi para korban, saksi dan warga Papua secara luas untuk dapat mengikuti persidangan secara langsung. Kendala jarak dan akses dari kasus yang terjadi di Papua dan diadili di Makassar telah terbukti menghambat proses Pengadilan HAM atas Peristiwa Abepura 2000.
Artikel ini bersumber dari www.suara.com.