News  

DOB, antara asa Papua dengan realitas Kaltara

DOB, antara asa Papua dengan realitas Kaltara

DOB, antara asa Papua dengan realitas Kaltara

Jika berkaca ke realitas Kaltara, maka DOB sangat efektif dalam memajukan pembangunan di “Benuata”

Tanjung Selor (ANTARA) – Kalimantan Utara selama ini dikenal sebagai provinsi ke-34 atau anak bungsu Ibu Pertiwi melalui UU Nomor 20 Tahun 2012 tentang Pembentukan Provinsi Kalimantan Utara yang disahkan pada 16 November 2012.

Namun, status sebagai anak termuda tergantikan setelah Ibu Pertiwi melahirkan tiga anak kembar sekaligus di Kompleks Parlemen, Jakarta, 30 Juni 2022, dengan disahkan RUU menjadi UU terkait Daerah Otonomi Baru (DOB) melalui sidang paripurna. Ketiga anak kembar itu, Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan Tengah, menandakan Ibu Pertiwi miliki 37 provinsi.

Mencermati UU DOB ini, ada yang tampak ganjil, yakni pada Provinsi Papua Selatan. Lazimnya, sebuah UU Pemekaran Wilayah, provinsi terbentuk minimal wajib ada lima daerah (kabupaten/kota). Pada Provinsi Papua Selatan hanya ada empat daerah (kabupaten), yakni Merauke, Mappi, Asmat, dan Boven Digoel.

Ternyata masalah ini dituntaskan dengan terlebih dahulu merevisi kebijakan mengatur pemerintahan dalam UU Otonomi Khusus (Otsus). Setelah UU Otsus direvisi maka DOB bisa disahkan. Luas wilayah Provinsi Papua Selatan –nama adat Anim Ha dengan Merauke sebagai ibu kotanya– adalah 131.493 kilometer persegi.

Selain Papua Selatan, disahkan juga DOB Papua Tengah (Meepago) dengan ibu kota Nabire dan luas provinsi 66.129 kilometer persegi. Provinsi ini mencakup delapan kabupaten, yakni Nabire, Puncak Jaya, Mimika, Paniai, Dogiyai, Deyiai, Intan Jaya, dan Puncak.

Khusus Papua Pegunungan Tengah (Lapago) dengan ibu kota Wamena dan luas provinsi 108.476 kilometer persegi. Provinsi ini mencakup tujuh kabupaten, yakni Jayawijaya, Lanny Jaya, Mamberamo Tengah, Nduga, Tolikara, Yahukimo, dan Yalimo.

Moratorium DOB

Sebenarnya, dalam beberapa tahun terakhir ada kebijakan moratorium DOB. Setidaknya ada puluhan daerah di Indonesia baik sudah diusulkan secara resmi maupun wacana DOB untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Lihat saja di Pulau Jawa, setidaknya ada usulan sembilan DOB, yakni Tangerang Raya, Bogor Raya, Cirebon, Banyumasan, Daerah Istimewa Surakarta, Jawa Utara, Madura, Mataraman atau Jawa Selatan, dan Blambangan.

Belum termasuk wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan daerah lain.

Baca juga: Pengamat: Pembentukan DOB jawab kebutuhan Papua

Khusus di Kaltara, ada usulan pembentukan lima DOB setingkat kabupaten dan kota. Kelima daerah itu, Kota Tanjung Selor, Kabupaten Bumi Dayak Perbatasan, Kabupaten Krayan, Kota Sebatik, dan Kabupaten Apau Kayan.

Keberadaan DOB Kaltara yang sudah berjalan sekitar 10 tahun maka peningkatan status Tanjung Selor menjadi kota harusnya prioritas.

Penetapan ini menjadi bagian dari UU Nomor 20 Tahun 2012 tentang Pembentukan Provinsi Kalimantan Utara, mengingat saat peraturan ini disahkan sudah satu paket dengan penetapan ibu kota provinsi di Tanjung Selor.

Sampai kini status ibu kota provinsi –Tanjung Selor– masih kecamatan belum kota.

Begitu pula DOB Kabupaten Bumi Dayak Perbatasan, Kabupaten Krayan, dan Kota Sebatik juga seharusnya jadi prioritas, jika pertimbangan dari aspek pertahanan karena berbagi tanah langsung –perbatasan– dengan Malaysia bagian timur.

Pemerintah pusat bersama DPR tentu ada pertimbangan strategis dalam menentukan kebijakan DOB, khususnya saat dihadapkan dengan opsi antara keputusan penting dengan hal lebih mendesak.

Kaltara mungkin penting tapi DOB Papua lebih mendesak untuk segera direalisasikan di “Bumi Cenderawasih” dengan berbagai pertimbangan, terutama aspek politis dan hankam (karena daerah ini juga berbatasan dengan Papua Nugini).

Belum mandiri

Indonesia periode 1999 hingga 2014 telah memiliki 223 DOB. Berdasarkan evaluasi pemerintah, ternyata sumber pendapatan sebagian besar 223 DOB masih bergantung pada APBN dan belum mampu mandiri (laporan Badan Pemeriksa Keuangan/BPK 2019).

Pemerintah melakukan moratorium, salah satu alasannya karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) DOB masih rendah. Kemampuan keuangan negara juga belum bisa menopang seluruh operasional DOB, terlebih akibat badai COVID-19 yang menguras keuangan negara, baik saat menghadapi pandemi maupun kala pemulihan ekonomi.

Baca juga: Pemerintah siapkan lembaga untuk penuhi kebutuhan ASN di DOB Papua

Pertanyaannya, benarkah DOB bermanfaat bagi pembangunan daerah?

Jika berkaca ke realitas Kaltara, maka DOB sangat efektif dalam memajukan pembangunan di “Benuata” (julukan provinsi seluas 71.800 kilometer persegi dengan penduduk sekitar 700.000 jiwa).

Dahulu –sebelum Kaltara terpisah dari Kaltim– karakteristik tiga DOB Papua hampir sama dengan provinsi ke-34 itu. Tengok saja persamaannya, yakni sama-sama memiliki wilayah yang luas, penduduk tipis, dan kelemahan infrastruktur.

Padahal faktor terpenting dalam meningkatkan roda perekonomian adalah infrastruktur sehingga ada adagium “Perhubungan darat adalah urat nadi perekonomian rakyat”.

Kilas balik pada era Orde Baru, saat itu Pulau Kalimantan hanya memiliki empat provinsi, Kaltim –Kaltara masih bagian provinsi ini– digolongkan daerah termiskin karena memiliki 505 desa tertinggal sehingga mendapat dana pusat, Inpres Desa Tertinggal (IDT).

Fakta di atas kertas, Kaltim/Kaltara hakikatnya terkaya jika dilihat dari nilai tambah bruto yang timbul dari seluruh sektor perekonomian atau memiliki Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) terbesar ketimbang provinsi lain di Kalimantan.

Kontribusi dari pergerakan ekonomi Kaltim (Kaltara) melalui pengolahan migas, perdagangan, industri, pertambangan, perikanan laut, perkebunan dan perhutanan membuat PDRB tertinggi di Kalimantan.

Namun, mengapa provinsi ini berstatus miskin? Prof. Dr. Mubyarto, pakar di Bappenas dari Universitas Gadjah Mada (UGM) –wafat 2005– mengungkapkan alasannya, karena kelemahan infrastruktur sehingga 505 desa di Kaltim (Kaltara) belum memiliki akses jalan darat yang mulus.

Prof Mubyarto yang dikenal sebagai pakar ekonomi rakyat itu mengatakan tentang pentingnya pembenahan infrastruktur dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Saat ini, setelah 10 tahun DOB Kaltara, setiap hari bus reguler Damri beroperasi dari ujung wilayah utara Kalimantan di Kaltara hingga ujung selatan Kalimantan di Kalsel.

Jalan Lintas Kalimantan sudah tersambung mulus mulai wilayah Kaltara (Nunukan-Malinau-KTT-Bulungan) hingga wilayah Kaltim dan provinsi lain di Kalimantan, bahkan hingga Malaysia.

Geliat perekonomian setelah DOB terlihat juga dengan kehadiran hotel, restoran, dan tempat hiburan yang tumbuh seperti jamur di musim hujan di Kaltara.

Dahulu, daerah-daerah di Kaltara hanya memiliki lapangan terbang sekelas perintis (hanya melayani pesawat kecil), sedangkan saat ini semua daerah –kecuali KTT– telah mempunyai bandara, bahkan di Tarakan telah berstatus bandara internasional.

Berbagai perangkat

Kaltara sebagai provinsi baru, saat ini memiliki berbagai perangkat lembaga atau organisasi, termasuk bidang keamanan, antara lain korem, polda (brimob), kodim, dan polres.

Mungkin karena itu Presiden Joko Widodo tidak pernah ragu datang ke “Benuata” sehingga sudah berkali-kali mengunjungi Kaltara. Ini tentu membanggakan bagi warga setempat.

Baca juga: DOB Sebatik berpeluang dibentuk tanpa perrsetujuan DPR

Padahal, sebelumnya sejak Indonesia merdeka hingga saat ini, selain Presiden Jokowi, hanya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang pernah ke Kaltara.

Khusus SBY yang berkunjung ke Kaltara pada 8 Maret 2005 hanya meninjau wilayah perbatasan di perairan Ambalat menggunakan kapal perang saat memanas hubungan Indonesia dengan Malaysia kala itu. Tidak ke daerah lain di Kaltara.

Presiden Jokowi telah lima kali ke Kaltara, termasuk meninjau proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Sungai Kayan yang disebut terbesar nasional, yakni 9.000 megawatt.

Presiden Jokowi juga meresmikan proyek kawasan industri hijau milik PT Kalimantan Industrial Park Indonesia (KIPI) dan PT Kawasan Industri Kalimantan Indonesia (KIKI) pada 15 Desember 2021 di Bulungan.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan saat mendampingi Presiden Jokowi menjelaskan kawasan industri itu butuh investasi 132 miliar dolar Amerika Serikat atau setara Rp1.848 triliun.

Pendanaan proyek di kawasan industri hijau terbesar di dunia –seluas 30.000 hektare di Tana Kuning Bulungan– sepenuhnya berasal dari swasta, tanpa adanya garansi dari pemerintah.

Secara kelembagaan, keberadaan DOB juga dilengkapi berbagai perangkat kelembagaan/organisasi di legislatif, eksekutif, dan yudikatif, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Ini menjadi peluang bagi warga Papua untuk berkontribusi langsung dalam membangun daerahnya dengan mengisi jabatan politik maupun pemerintahan, serta di lembaga swasta.

Desentralisasi dan pemekaran wilayah hakikatnya untuk mendekatkan birokrasi dan pembangunan di daerah.

Lahirnya tiga DOB Papua menjadi jalan terbaik dalam membenahi kelemahan infrastruktur di “Bumi Cenderawasih”.

Sebanyak tiga DOB itu bisa saja menjadi penawar sehingga isu separatis sudah tidak relevan dan seksi lagi.

Masyarakat “Bumi Cenderawasih” nantinya disibukkan dengan perlombaan membangun tiga DOB. Yang terpenting mereka hadir pada semua sektor.

Baca juga: 300 personel Brimob disiagakan di Wamena terkait penetapan DOB

Baca juga: Perjalanan DOB dan harapan bagi masyarakat di Tanah Papua

Baca juga: Paulus Waterpauw terima aspirasi pembentukan DOB Papua Barat Daya

COPYRIGHT © ANTARA 2022

Artikel ini bersumber dari www.antaranews.com.

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!