News  

Jalur Sisi Jurang dan Jarak 44 Kilometer Tiap Hari

Jalur Sisi Jurang dan Jarak 44 Kilometer Tiap Hari

Parang di Pinggang, Melewati Tebing, dan Melintasi Sungai, Kakak-Adik Itu ke Sekolah

Saat Hari Anak Nasional dirayakan besok, Yudding dan Nursabbi adalah pengingat masih banyak anak-anak yang kesulitan untuk sekadar sampai ke sekolah. Jawa Pos mengikuti mereka berjalan kaki sekitar 5 jam.

ZALZILATUL HIKMIA, Bone

MALAM semakin larut. Suara tawa dan cengkerama dalam bahasa Bugis di dalam rumah itu perlahan surut. Pendar api dari tungku api di dalam kamar juga sudah mati, bersamaan dengan nasi dan sayur yang telah matang.

Hanya ada dua ruangan di rumah pasangan Kure-Yupe, ayah dan ibu Yudding serta Nursabbi, yang berada di tengah lereng Gunung Cemara di Bone, Sulawesi Selatan, itu. Satu kamar berukuran sekitar 2 x 1,5 meter dan ruang tamu berupa teras 1 x 1,5 meter.

Kamar tersebut bisa dibilang multifungsi. Selain untuk tidur, ada dapur di pojokan. Karena keterbatasan ruangan itu pula, anak-anak laki-laki Kure kadang kebagian tidur di teras.

Yudding, 14, dan Nursabbi, 11, juga sudah terlelap dipeluk malam.

Berselimut sarung, mereka tidur di samping buntelan-buntelan baju. Termasuk, seragam sekolah mereka. Sisa Minggu (17/7) malam itu akhirnya hanya diisi dengan obrolan burung hantu dan kulu-kulu yang suaranya bikin berdiri bulu kuduk. Persis seperti tawa perempuan.

Tak ada alarm yang bisa dipasang setiap 10 menit sekali selama satu jam untuk membangunkan dari tidur. Toh, dua bersaudara tersebut tetap bisa bangun tepat pukul 03.00 WIT.

Ngulet berlama-lama dengan alasan ”mengumpulkan nyawa” adalah kemewahan yang tak terbeli bagi mereka. Ketika terjaga, siswa kelas V dan VI SD Inpres 5/81 Tapong, Tellu Limpoe, itu harus segera ke kamar mandi terbuka di depan rumah.

Tanpa ragu, air sedingin es diguyur ke badan. Setelahnya bergegas mengenakan pakaian dan sarapan dengan nasi serta sayur hasil kebun.

Senin (18/7) itu, mereka diantar oleh sang kakak perempuan, Kamriani. Biasanya, mereka berangkat sekolah bersama. Namun, tahun ini Kamriani lulus SD.

Dia berencana untuk meneruskan sekolah ke jenjang SMP, yang gedungnya masih satu kompleks dengan SD-nya dulu. Sayang, niatnya masih terganjal pembelian seragam sekolah yang belum mampu dilunasi oleh Kure. Belum lagi soal uang kas yang harus disetor rutin.

Niatnya untuk kembali sekolah pun jatuh ke dalam sungai dan dibawa arus entah ke mana. ”Mai masiga (ayo cepat, Red), Udding, Sabbi,” ujar Kamriani dalam bahasa Bugis, meminta kedua adiknya bergegas berjalan.

PERJUANGAN UNTUK SAMPAI KE SEKOAH: Sejumlah anak-anak- kawan Yudding dan Nursabbi berjalan kaki menuju SD dan SMP Inpres 5/81 Tapong, Kecamatan Tellu Limpoe, Bone, Sulawesi Selatan (18/7). (HANUNG HAMBARA/JAWA POS)

Mereka memang harus lekas berangkat sebelum bel sekolah dibunyikan tepat pukul 07.30 WIT. Jarak rumah mereka di Dusun 1 Lerang menuju sekolah yang berada di Dusun Rea tak dekat, sekitar 22 kilometer. Mereka kudu berjalan kaki kurang lebih 4–5 jam agar bisa sampai di sekolah.

Sudah jauh, medan yang mereka lalui juga sangat ekstrem. Taruhannya nyawa. Bukan jalan setapak pada umumnya. Melainkan area lereng gunung yang sengaja dibuka oleh sang ayah, Kure, untuk mempermudah anak-anaknya meraih mimpi-mimpi mereka. Hanya selebar 15–20 cm, yang ketika meleng sedikit pilihannya jatuh ke jurang.

Jawa Pos ikut bersama mereka pada subuh yang dingin itu ketika hujan tiba-tiba mengguyur dan membuat jalanan semakin licin. Beberapa kali salah satu di antara kami tergelincir. Apalagi saat melalui aliran sungai. Maklum, hanya ada penerangan dari senter kecil. Semua pijakan terlihat sama, bahkan kotoran sapi pun seperti lumpur pada umumnya.

Tak banyak obrolan dalam perjalanan dua jam sebelum mencapai rumah tetangga terdekat mereka itu. Kamriani, Yudding, dan Nursabbi hanya berfokus pada jalan yang mereka lewati.

Ketiganya harus tetap awas. Sebab, mereka bisa setiap saat bersirobok dengan ular dan babi hutan. Parang yang diikat kencang di pinggang pun selalu siap ditarik untuk menebas hewan-hewan tersebut.

KAWAN SEPERJALANAN: Yudding dan Nursabbi membeli gorengan yang dijajakan Marliana (kiri) untuk sekadar mengisi perut dalam perjalanan menuju sekolah (HANUNG HAMBARA/JAWA POS)

Sampai di permukiman terdekat, satu per satu kawan mereka ikut bergabung untuk perjalanan menuju sekolah. Sumarni, Una, Calini, dan lainnya sudah bersiap di depan rumah masing-masing menunggu kakak beradik itu. Yudding dan Nursabbi adalah alarm bagi anak-anak lain sebagai pengingat waktu berangkat ke sekolah.

Jalanan memang sudah tak seterjal sebelumnya. Tapi, tetap saja, anak-anak itu harus berjalan naik turun bukit selama dua jam untuk bisa sampai sekolah.

Tak ada keluhan terdengar. Sepanjang perjalanan hanya diisi gurauan, kejar-kejaran, dan sesekali terpeleset karena jalan setapak yang licin setelah diguyur hujan. Di benak mereka hanya ingin sekolah.

”Ayo kakak, cepat. Kami bisa terlambat ini,” ujar salah seorang teman Yudding karena jalan kami yang mulai melambat.

Benar saja, setiba di sekolah, jam pelajaran sudah dimulai. Mereka langsung berlari menuju kelas masing-masing. Di depan ruang kelas VI, Yudding langsung disambut oleh wali kelasnya, Abddurahman.

Dia diminta segera duduk bergabung dengan teman-temannya yang sudah mulai belajar duluan. ”Untuk Yudding memang diberikan toleransi keterlambatan. Karena rumahnya kan jauh,” ungkap pria yang akrab disapa Rahman itu.

Tak ada waktu untuk tarik napas atau sekadar meluruskan kaki. Sesampai di bangku, Yudding langsung mengeluarkan buku pelajaran.

Napoji maguro sibawa silo’e (senang belajar dan bisa bertemu teman, Red),” ujar Sabbi yang diamini oleh Yudding ketika ditanya apa yang membuat mereka tetap bersemangat ke sekolah di tengah kondisi yang sangat sulit seperti itu.

Sabbi paling suka belajar agama dan matematika. Dia bercita-cita menjadi seorang guru. Sementara itu, sang kakak ingin menjadi polisi. ”Magello (karena keren, Red),” jawab Yudding singkat.

Cita-cita kakak beradik itu pun mendapat dukungan penuh dari Kure. Dia mengaku, apa pun yang jadi keinginan anaknya bakal diupayakan penuh olehnya. ”Nasicocokima narekko engkamua dalle’na (setuju, yang penting ada rezeki, Red),” ujar Kure.

Dukungan itu pun tak hanya soal membuka jalan untuk mereka ke sekolah. Setiap hujan datang dan sungai-sungai meluap, Kure akan datang ke sekolah untuk menyampaikan izin kepada guru-guru anaknya. ”Ini terjadi sejak kedua kakak Yudding dan Sabbi, Kamriani dan Gulman, bersekolah. Artinya, kan bapaknya memang sangat mendukung anaknya sekolah,” ungkap Kepala SD Inpres 5/81 Tapong Saharudin.

Untuk mendukung semangat anak didiknya, Saharudin pun memberikan toleransi keterlambatan bagi mereka hingga setengah jam. Namun, bukan berarti ada kortingan jam belajar. Mereka tetap mendapat tambahan selepas sekolah. ”Jadi, ketika yang lain sudah pulang, mereka diberi tambahan oleh guru-gurunya,” paparnya.

Dan, itu artinya sore sudah menjelang ketika kakak-adik itu sampai kembali ke rumah. Setelah melewati sungai dan tebing yang sama, dengan ancaman serupa pula: jatuh ke jurang, disengat ular, atau diseruduk babi hutan.

KAWAN SEPERJALANAN: Nursabbi (dua dari kiri bersama teman-teman sekelas. (HANUNG HAMBARA/JAWA POS)


Artikel ini bersumber dari www.jawapos.com.

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!