korannews.com – Sekilas, salah satu warga Dusun Talangagung Kasin, Desa Talangagung, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang bernama Nur Azizah memasak nasi dan lauk menggunakan kompor pada umumnya.
Namun kepada Kompas.com, perempuan dua anak itu mengatakan bahwa kompornya tidak menggunakan gas elpiji, tetapi gas metana (CH4) sampah organik yang didapat dari sistem Sanitary Landfill Wisata Edukasi Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Talangagung.
Wisata Edukasi TPA Talangagung adalah tempat pemrosesan akhir sampah milik Pemerintah Kabupaten Malang melalui pengelolaan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Malang, yang juga difungsikan sebagai kawasan edukasi sampah.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, sampah yang dibuang ke sana dari berbagai kawasan Kabupaten Malang mencapai 110 ton per hari.
Jarak antara rumah Nur Azizah dengan Wisata Edukasi TPA Talangagung memang tidak begitu jauh. Hanya berjarak sekitar 1 kilometer.
Nur menyebutkan, sudah sejak tahun 2019 lalu ia menggunakan kompor alternatif semacam itu. Pemanfaatan gas metana itu diberikan pengelola Wisata Edukasi TPA Talangagung.
“Gas metana ini diberikan secara cuma-cuma oleh pengelola Wisata Edukasi TPA Talangagung. Baik biaya instalasi pada tahun 2019 lalu maupun biaya iuran per bulan, semuanya gratis,” ungkapnya saat ditemui di rumahnya, Jumat (23/9/2022).
Keunggulan kompor gas metana
Memasak menggunakan kompor dari gas metana itu, diklaim Nur lebih cepat matang dibanding menggunakan gas elpiji.
“Sebab, bara api yang dikeluarkan lebih besar dibanding menggunakan kompor gas elpiji,” bebernya.
Selama pemanfaatan kompor alternatif itu sejak 4 tahun lalu, tidak ada kendala yang signifikan dan bersifat membahayakan. Hanya saja, apabila hujan lebat gas metana itu tidak bisa keluar, sehingga kompor tidak bisa berfungsi.
“Sebagai antisipasi, kami sudah menyiapkan kompor yang menggunakan gas elpiji sekaligus tungku. Sebagai alternatif digunakan memasak saat hujan lebat,” tuturnya.
Selain Nur Azizah, terdapat ratusan warga setempat yang juga menikmati kompor alternatif berbahan bakar gas metana itu.
Tampak pipa plastik membentang di sepanjang pinggir jalan dari pusat pengolahan gas metana TPA Talangagung ke perkampungan. Pipa itulah yang difungsikan untuk mengalirkan gas metana ke setiap kompor rumah tangga warga.
Di pusat pengolahan gas metana Wisata Edukasi TPA Talangagung, terlihat terdapat tiga pipa plastik yang ditanamkan ke dalam gunungan sampah. Pipa itulah yang berfungsi mengambil gas metana dari dalam sampah.
Kemudian berjarak 100 meter atau tepat di depan kantor pengelola TPA, terdapat tiga pipa yang berdiri dengan masing-masing warna biru, kuning, dan hijau.
Kepala Bidang Pengelolaan Sampah dan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Malang Renung Rubiyataji menjelaskan bahwa pipa yang ditanam ke dalam tumpukan sampah itu dilubangi dari dari setiap sisinya.
Fungsi lubang di pipa itu adalah untuk menyedot seluruh kandungan kimia yang ada dalam sampah.
“Proses penyedotan kandungan kimia itu menggunakan blower, lalu masuk ke tiga pipa warna itu,” terangnya.
Penyaringan gas metana
Renung mengatakan pipa tiga warna itu adalah reaktor pemurnian gas metana yang berfungsi untuk menyaring kandungan gas metana.
Sebab, dalam proses penyedotan itu, tidak hanya kandungan gas metana yang dihasilkan, tapi juga Hidrogen (H2), Hidrogen Sulfida (H2S), Nitrogen Okside (NOX), dan Sulfur Dioksida (SOX).
“Nah, beberapa kandungan itu kami saring menggunakan reaktor pemurnian gas Metana, sehingga yang keluar dan terdistribusi hanya gas metana lalu mengalir ke setiap rumah warga tersebut,” jelasnya.
Inovasi itu sudah digagas pengelola Wisata Edukasi TPA Talangagung sejak tahun 2009, hasil dari ekperimen para pegawai pengelolanya.
“Jadi inovasi ini dibuat secara otodidak oleh pegawai kami tampa pendampingan dari siapa pun. Bahkan pada awal inovasi ini, di tengah keterbatasan anggaran, mereka menggunakan bambu sebagai pengganti pipa,” terangnya.
Sedangkan terkait dengan tidak terdistribusinya gas metana pada saat hujan, Renung mengatakan hal itu dipicu karena kandungan air ketika musim hujan lebih banyak dibanding tekanan gas metana yang ada.
“Sehingga menyebabkan gas metana tidak terdistribusi dengan baik ke kompor-kompor warga,” katanya.
Kini, renung mangatakan terhitung sudah ada sekitar 200 warga yang memanfaatkan bahan bakar gas metana itu kompor rumah tangga.
Selain itu, inovasi pemanfaatan gas metana dari sampah Wisata Edukasi TPA Talangagung itu juga telah direplikasi oleh beberapa TPA dari berbagai Kota dan Kabupaten di seluruh Indonesia.
“Kami secara terbuka mempersilakan siapa pun yang ingin belajar dan mereplikasi pengolahan gas metana ini. Kami siap mengedukasi dari awal sampai akhir,” imbuhnya.