Bingung. Itulah respons beberapa pelaku ekonomi kreatif ketika menanggapi peraturan pemerintah baru yang memungkinkan mereka mengajukan pinjaman ke bank dan lembaga keuangan nonbank, dengan jaminan berupa kekayaan intelektual yang mereka miliki.
“Pas dengar merasa bingung, gimana cara menggunakan [kekayaan intelektual] itu sebagai jaminan? Setelah baca [peraturannya], nggak lebih jelas juga, sedikit lebih bingung dan penasaran penerapannya seperti apa,” ujar Dionisius Mehaga, alias Dion MBD, ilustrator asal Bandung, ketika dihubungi VOA.
Sementara Jennie Linando, YouTuber asal Surabaya, belum paham betul tentang aturan yang memungkinkan ia mengagunkan video YouTubenya – asalkan sudah mendapatkan sertifikat hak kekayaan intelektual (HAKI) – untuk meminjam dana. “Aku nggak ngerti pastinya [jaminan] itu konten per video atau hitungannya satu channel?”
Pada 12 Juli 2022, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif. Salah satu poin yang diatur dalam PP itu adalah pembiayaan berbasis hak kekayaan intelektual (intellectual property). Apabila selama ini lembaga keuangan seperti bank hanya menggunakan aset benda berwujud (tangible) – seperti tanah, mobil atau perhiasan – sebagai agunan pinjaman, PP itu memungkinkan debitur menjaminkan aset tak benda (intangible) berupa kekayaan intelektual mereka. Sejak ditandatangani hingga berita ini terbit, belum ada regulasi lebih rinci yang mengatur skema pembiayaan tersebut.
“Saat ini kami mengkaji lebih dalam aturan tersebut serta menunggu ketentuan dari regulator yang akan menjadi turunan pelaksanaan kebijakan tersebut,” kata Vice President Corporate Communication Bank Mandiri Ricky Andriano, melalui pernyataan tertulis kepada VOA, saat ditanya mengenai respons lembaganya terhadap PP 24/2022.
Gol Positif, Tapi Sistem Belum Siap
Aturan itu dibuat agar pelaku ekonomi kreatif lebih mudah memperoleh pinjaman untuk mengembangkan usaha mereka. Menurut situs Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, yang termasuk subsektor ekonomi kreatif sendiri antara lain pengembang permainan; kriya; desain interior; musik; seni rupa; desain produk; fesyen; kuliner; serta film, animasi dan video. Selain itu fotografi; desain komunikasi visual; televisi dan radio; arsitektur; periklanan; seni pertunjukan; penerbitan juga aplikasi.
Setidaknya ada empat syarat yang harus dipenuhi calon debitur ketika mengajukan pinjaman berbasis kekayaan intelektual. Pertama, karya yang diagunkan harus sudah tercatat atau mengantongi sertifikat kekayaan intelektual. Selain itu, debitur harus mengajukan proposal pembiayaan, memiliki usaha ekonomi kreatif, serta memiliki perikatan terkait kekayaan intelektual produk ekonomi kreatif.
Ekonom sekaligus Kepala Pusat Inovasi dan Ekonomi Digital Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda menyambut baik hadirnya peraturan itu. Ia menilai, pembiayaan oleh perbankan dan lembaga keuangan lainnya dapat membantu pengembangan industri kreatif tanah air sekaligus meningkatkan inklusivitas pelaku ekonomi kreatif dalam ekosistem layanan finansial yang aman. Pasalnya, masih banyak yang menurut pengamatannya “belum bankable,” mengingat keragaman akses dan tingkat kemapanan mereka.
“Kita harus akui, masyarakat kita ini masih relatif rendah inklusi keuangannya, terutama untuk pembiayaan perbankan,” ungkap Nailul Huda.
Meski demikian, Huda masih melihat ketidaksiapan berbagai aspek untuk menyokong implementasi aturan baru itu. Pertama, biaya pendaftaran hak kekayaan intelektual (HAKI) yang ia nilai belum cukup terjangkau oleh sebagian besar pelaku ekonomi kreatif. Dalam situs Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), biaya pendaftaran kekayaan intelektual, dari merek, paten, hingga hak cipta berkisar antara Rp200 ribu hingga Rp10 juta per permohonan, tergantung jenis kekayaan intelektual dan kategori pemohon. Belum lagi masih lemahnya penegakan hukum dalam masalah pembajakan yang merajalela di tanah air.
Kedua, Huda mempertanyakan kesiapan infrastruktur lembaga perbankan dan lembaga keuangan nonbank dalam melaksanakan PP tersebut, termasuk petunjuk teknis penilaian kekayaan intelektual yang dijadikan agunan.
Kemudian, ia juga menyoroti masalah ketidaksiapan pasar sekunder yang akan menjadi wadah bagi pemberi pinjaman untuk menjual aset kekayaan intelektual yang jadi agunan debitur yang mengalami wanprestasi, alias gagal bayar.
“Misalkan, kita bicara mengenai konten YouTube. Apakah ada pasar sekunder atau orang yang mau membeli video tersebut? […] Mungkin ada reuploader (pengunggah ulang, red.) – di Indonesia kan banyak banget reuploader – itu akhirnya membuat nilai video yang dijaminkan itu menjadi relatif kecil. […] OK, mungkin yang lebih besar lagi: film bioskop. Walaupun dia sudah didaftarkan di HAKI, tapi masih banyak tuh mamang-mamang di pinggir jalan yang menjajakan video-video film palsu, bajakan… Lagu juga seperti itu,” beber Huda.
Pendidikan Kreatif dan Bisnis Lebih Dibutuhkan
Bagi Dion, yang memperoleh gelar sarjana seni dalam bidang ilustrasi dari Ringling College of Art Design di Florida, AS, kebutuhan untuk mendaftarkan hak cipta atas karya-karyanya tidak mendesak, karena hak cipta timbul secara otomatis dan deklaratif pada setiap ilustrasi yang ia buat. Sejauh ini, dirinya mengaku hanya mendaftarkan hak kekayaan intelektual atas mereknya.
Selain itu, ia khawatir skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual yang diatur dalam PP 24/2022 berpotensi lebih menguntungkan kalangan pebisnis daripada pekerja ekonomi kreatif yang sebagiannya bekerja secara lepasan.
“Aku khawatirnya, dengan peraturan ini, yang akan mendaftarkan hak ciptanya itu merek-merek yang besar. Jadi, misalnya Dion, aku nggak punya uang untuk mendaftarkan HAKI-ku, aku tanda tangan kontrak [kerja] menjadi bagian dari, misalnya, perusahaan A; perusahaan A mendaftarkan [karya aku] itu sebagai hak milik atau HAKI-nya mereka. Jadinya ‘kan sebagai pekerja kreatif, aku akan berada di taraf di mana aku akan menjadi ‘tukang jahit’, sementara makelarnya orang lain.”
Menurutnya, ketimbang mengizinkan pembiayaan berbasis kekayaan intelektual, lebih baik pemerintah memberikan insentif berupa pendidikan kreatif dan bisnis bagi para pekerja ekonomi kreatif. Ia menilai hal itu akan lebih berdampak pada pengembangan ekonomi kreatif di Indonesia. Dalam bidang pekerjaannya, ketika para ilustrator memiliki kecakapan berkreasi dan berbisnis, mereka dapat terjun ke industri kreatif – tidak hanya di dalam, tapi juga di luar negeri – dengan lebih kompetitif.
Jennie mengungkapkan hal serupa. Selain masih meragukan sistem asesmen aset kekayaan intelektual sebagai jaminan, YouTuber dengan sedikitnya 615 ribu pelanggan dan 69 juta penayangan itu merasa hak cipta video-videonya sudah cukup terlindungi oleh sistem hak cipta dari platform itu sendiri, tanpa perlu mengajukan lagi permohonan HAKI ke DJKI Kementerian Hukum dan HAM. Ia pribadi lebih mengharapkan apresiasi pemerintah kepada para pembuat konten YouTube di tanah air sebagai pelaku ekonomi kreatif.
“Content creator YouTube ini kayaknya didiamkan, adem ayem, nggak ada apresiasi… [diadakan] acara penghargaan kah, atau mungkin dikumpulkan di satu kota untuk mendapatkan suatu seminar tentang apa yang baru, ada inovasi apa, atau dukungan pemerintah seperti apa…,” imbuh Jennie.
Selain mengatur soal pembiayaan ekonomi kreatif berbasis kekayaan intelektual, PP itu juga mengatur tentang fasilitas pengembangan sistem pemasaran produk ekonomi kreatif berbasis kekayaan intelektual, infrastruktur ekonomi kreatif, insentif bagi pelaku ekonomi kreatif, tanggung jawab pemerintah dan peran masyarakat dalam pengembangan ekonomi kreatif, hingga penyelesaian sengketa pembiayaan.
Sebelum Indonesia, Malaysia telah lebih dulu menerapkan skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual pada tahun 2013. Seperti diberitakan surat kabar The Malaysian Reserve, saat itu pemerintah negeri jiran mengalokasikan dana sebesar RM200 juta untuk dipinjamkan kepada para pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dengan menggunakan skema tersebut melalui perusahaan Malaysia Debt Ventures Bhd (MDV). UMKM Malaysia yang bergerak di bidang teknologi dapat menggunakan hak kekayaan intelektual mereka untuk memperoleh pembiayaan.
Dalam industri hiburan AS, pembiayaan berbasis kekayaan intelektual semakin populer sejak musisi David Bowie menerbitkan surat utang berjangka senilai $55 juta pada tahun 1997 dengan jaminan berupa aliran pendapatan masa depan dari 25 album yang dirilisnya sebelum tahun 1990. Utang itu sendiri ia gunakan untuk membeli kembali 50% hak kekayaan intelektual (HAKI) yang dipegang sang mantan manajer.
Selain Bowie, studio film DreamWorks juga menerbitkan obligasi senilai $1 miliar dengan jaminan berupa pendapatan dari sejumlah film terkenal yang diproduksinya, termasuk “Saving Private Ryan” dan “American Beauty.” [rd/em]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.