Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan kenaikan inflasi Amerika Serikat yang mencapai 9,1 persen bisa berdampak kepada negara lain, termasuk Indonesia. Sebab, kata dia, Bank sentral Amerika Serikat (The Fed) kemungkinan akan kembali menaikkan suku bunga acuan untuk mengendalikan inflasi. Menurutnya, kenaikan suku bunga itu bisa membuat nilai dolar Amerika semakin kuat terhadap mata uang negara lain seperti euro; juga nilai tukar mata uang dari negara berkembang seperti rupiah.
“Jadi ada kekhawatiran, suku bunga naiknya terlalu agresif dan memicu pelarian dana dari negara-negara berkembang pulang ke Amerika, karena imbal hasilnya surat utang Amerika jauh lebih menarik,” jelas Bhima kepada VOA, Kamis (14/7).
Bhima menambahkan kenaikan suku bunga The Fed kemungkinan akan direspons Bank Indonesia dengan menaikkan suku bunga acuan. Menurutnya, kondisi ini akan membuat pelaku UMKM, pengusaha, dan masyarakat harus mencicil pinjaman lebih mahal. Kondisi ini juga bisa berdampak terhadap ketersediaan lapangan pekerjaan karena perusahaan-perusahaan, terutama yang memiliki bahan baku impor, akan menahan rekrutmen pekerja karena beban produksi yang naik.
Selain itu, kenaikan inflasi yang tinggi di Amerika dapat mengganggu jalur perdagangan dunia karena Amerika merupakan salah satu pasar utama dari banyak negara. Apabila ini terjadi, maka pertumbuhan ekonomi di sejumlah negara yang memiliki pangsa pasar di Amerika akan terkoreksi.
“Semisal China, dia akan menahan ekspansi (baca: ke Amerika), maka pertumbuhan ekonomi akan melambat dan dampaknya bisa ke negara-negara lain seperti Indonesia,” tambahnya.
Bhima menyarankan pemerintah untuk melanjutkan bantuan sosial selama pandemi untuk mencegah memburuknya inflasi di tanah air. Sebab, kata dia, banyak pekerja yang nilai upahnya turun karena inflasi. Selain itu, ia menyarankan pemerintah untuk mencari substitusi pangan impor agar tidak tergantung dengan harga pangan global yang sedang mengalami kenaikan.
Bhima menilai kondisi perekonomian Indonesia masih cukup baik karena cadangan devisa yang masih cukup. Namun, ia mengingatkan pemerintah untuk mengambil kebijakan yang tepat karena cadangan devisa kini lebih dikarenakan harga komoditas yang naik.
Bauran Kebijakan BI Dukung Stabilitas Ekonomi
Bank Indonesia (BI) menilai pengelolaan ekonomi Indonesia dihadapkan dengan permasalahan ekonomi global yang kompleks dan dinamika yang diwarnai oleh ketidakpastian. Karena itu, BI menilai diperlukan bauran kebijakan bank sentral mulai dari kebijakan moneter, kebijakan makroprudensial (paket kebijakan), hingga sistem pembayaran.
Deputi Gubernur Bank Indonesia, Juda Agung mengatakan, inovasi, sinergi kebijakan, dan kolaborasi yang kuat, penting untuk mendukung penguatan kerangka bauran kebijakan yang efektif. “Berbagai risiko yang muncul belakangan ini tidak dapat dimitigasi hanya oleh satu kebijakan untuk menjaga stabilitas makro-finansial,” ujar Juda dalam keterangan tertulis, Rabu (13/7).
Sementara terkait posisi cadangan devisa Indonesia, BI mencatat sebanyak 136,4 miliar dolar AS pada akhir Juni 2022. Cadangan ini lebih tinggi dibandingkan dengan posisi pada akhir Mei 2022 sebesar 135,6 miliar dolar AS. Peningkatan posisi cadangan devisa pada Juni 2022 antara lain dipengaruhi oleh penerbitan global bond Pemerintah serta penerimaan pajak dan jasa.
Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 6,6 bulan impor atau 6,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.[sm/em]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.