Dari sebuah sinagoge kecil sederhana yang dibangun dari rumah leluhur keluarganya di sebuah desa pegunungan di selatan Italia, seorang rabbi asal Amerika menepati janjinya kepada sang ayah yang berdarah Italia untuk menghubungkan kembali masyarakat kota Calabria dengan akar Yahudi mereka.
Ikatan itu hampir putus lima abad lalu ketika kelompok inkuisisi gereja Katolik memaksa masyarakat Yahudi di sana untuk memeluk agama Kristen.
Sang ayah, Antonio Abramo Aiello, yang lahir di kota Serrastretta, harus pindah bersama keluarganya ke AS tahun 1923, sebelum ia sempat menjalani bar mitzvah – ritual bagi anak laki-laki Yahudi yang memasuki usia dewasa.
Sementara sang putri, Barbara Aiello, yang lahir di kota Pittsburgh, AS, justru ditahbiskan sebagai rabbi di usianya yang ke-51 di sebuah cabang kecil agama Yahudi di Amerika yang dikenal dengan nama gerakan Rekonstruksionis.
Dalam prosesnya, Barbara juga membantu menghidupkan kembali kota Serrastretta, satu dari banyak kota kecil di selatan Italia yang bergelut dengan masalah penyusutan penduduk.
Penduduk usia muda berbondong-bondong meninggalkan kota itu untuk mencari kerja, sementara tingkat kematian di sana lebih tinggi ketimbang angka kelahiran.
Ketika pengunjung asing datang ke sinagogenya untuk mengikuti upacara keagamaan, Rabbi Barbara, yang kini berusia 74 tahun, menunjukkan kepada mereka rumah di wilayah yang dulunya merupakan kawasan Yahudi di kota terdekat Lamezie Terme itu.
Di kota itulah ayahnya belajar agama Yahudi.
Ia menunjukkan sebuah plakat yang berbunyi: “sudut kota ini pernah menjadi lingkungan Yahudi yang aktif dan rajin” pada abad ke-13 sampai 16.
“Sebelum Ayah saya wafat, ia berkata: ‘Berjanjilah padaku kau akan melakukan sesuatu bagi warga Yahudi di Calabria. Warga Calabria yang berakar Yahudi.’ Saya berjanji padanya meski tak tahu harus berbuat apa. Saya tidak tahu. Tapi kemudian saya menjadi seorang Rabbi, sebagai pekerjaan kedua saya. Saya ditahbiskan ketika saya berusia 51 tahun dan saya sudah menjadi rabbi selama 23 tahun. Ketika saya membawa ayah saya kembali ke sini tahun 1975, saya tahu saya akan tinggal di sini suatu hari nanti,” papar Barbara.
Musim semi ini, Barbara menampung para pengungsi Ukraina, yang beberapa di antaranya keturunan Yahudi, untuk tinggal di kota itu untuk sementara atau mungkin selamanya.
Vira, salah satu dari lima orang ibu asal Ukraina, yang datang bersama sembilan orang anak, mereka, dibawa ke Serrastretta berkat bantuan Barbara dan warga setempat.
Biaya transportasi dan tempat tinggal mereka telah dilunasi para pendonor asal Inggris, AS, Australia dan Kanada, yang sebagian besarnya pemeluk Yahudi, kata sang rabbi.
Dua dari lima perempuan itu telah kembali ke Ukraina, termasuk istri seorang pendeta Kristen Ortodoks.
Namun Vira, yang meminta nama belakangnya dirahasiakan karena suaminya masih berada di Ukraina, bekerja untuk salah satu kementerian di Ukraina. Ia mempertimbangkan untuk menetap di Serrastretta bersama putranya yang masih berumur 2,5 tahun bernama Platon.
“Saya menghabiskan masa kecil saya dengan berbagai tradisi Yahudi dan saya tetap menjalin komunikasi dengan saudara-saudara saya. Saya tidak menyangka Barbara bisa membantu saya. Ia sangat baik kepada saya, dengan hati terbuka, di saat-saat yang sangat sulit bagi saya,” kata Vira.
Vira mengaku bersyukur bisa belajar agama Yahudi di tempat itu. Neneknya yang lahir di Krimea adalah seorang Yahudi. Namun sang ayah, yang asal Rusia, kerap mengajaknya ke gereja, sehingga ia belum pernah mengunjungi rumah ibadah umat Yahudi sebelumnya.
Wali Kota Serrastretta Antonio Muracca berharap beberapa pengungsi Ukraina akan menetap di kotanya.
“Sudah beberapa tahun terakhir kota Serrastretta mengalami penurunan populasi yang mengejutkan akibat sedikitnya lapangan kerja, sehingga orang-orang mengambil kesempatan mereka dan pergi ke tempat lain. Kami melakukan apa pun yang kami bisa agar orang-orang tetap di sini,” katanya.
Populasi kota Serrastretta menyusut dari 4.000 jiwa tahun 2001 menjadi 2.900 jiwa tahun 2020.
Di negara yang sangat Katolok, kehadiran Rabbi Barbara Aiello disambut baik Kependetaan Italia.
Pastor paroki Serrastretta, Pastor Luigi Luliano, mengundang Barbara untuk membacakan Mazmur pada kebaktian malam Paskah April lalu.
“Rabbi itu orang yang sangat lembut, sangat terbuka. Tidak pernah ada persaingan atau kecemburuan. Yang ada justru kolaborasi, saling menghormati sejarah agama lain,” katanya.
Barbara menyebut dirinya adalah rabbi perempuan satu-satunya di Italia yang mengelola satu-satunya sinagoge di Calabria.
Ia mengandalkan acara pernikahan serta bar maupun bat mitzvah untuk mendanai sinagogenya.
Ia tidak lagi menerima pendanaan dari donasi wajib pajak di Italia.
Pemerintah Italia hanya mengakui komunitas Yahudi Ortodoks di Italia, yang anggota resminya berjumlah sekitar 23.000 orang, hampir separuh dari mereka yang tinggal di Roma, dan di mana 200 di antaranya tinggal di selatan negara itu. [rd/jm]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.