Pemimpin Junta Myanmar Minta Perpanjangan Jabatan selama 6 Bulan

Pemimpin Junta Myanmar Minta Perpanjangan Jabatan selama 6 Bulan

Pemimpin Junta Myanmar Minta Perpanjangan Jabatan selama 6 Bulan

Pemerintah militer Myanmar telah memperpanjang keadaan darurat selama enam bulan ke depan, kata media pemerintah hari Senin (1/8), di mana kepala junta mengatakan bahwa pemilihan umum hanya dapat diselenggarakan ketika negara yang dilanda konflik itu “stabil dan damai.”

Min Aung Hlaing, yang memimpin kudeta tahun lalu, meminta pemerintahan militer untuk “mengizinkannya menjabat selama enam bulan lagi,” menurut laporan Global New Light of Myanmar.

Anggota Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional junta militer “mendukung proposal itu dengan suara bulat,” ungkap laporan itu.

Pemerintahan junta militer Myanmar memberlakukan keadaan darurat setelah menggulingkan pemerintahan Aung San Suu Kyi pada Februari tahun lalu dan menjerumuskan negara itu ke dalam kekacauan.

Pihak junta sebelumnya telah menyatakan bahwa pemilu akan digelar dan keadaan darurat akan diakhiri pada Agustus 2023 – memperpanjangnya dari rencana semula selama satu tahun, yang diumumkan beberapa hari setelah kudeta.

Junta militer memberikan pembenaran terhadap kudeta itu dengan menuduh telah terjadi kecurangan besar-besaran pada pemilu 2020, di mana partai Suu Kyi, Liga Demokrasi Nasional (NLD), mengalahkan partai yang didukung militer.

Tahun lalu, junta militer membatalkan hasil jajak pendapat, dengan mengatakan telah menemukan lebih dari 11 juta kasus kecurangan pemilu.

Pengamat internasional menyatakan bahwa pemungutan suara itu sebagian besar dilakukan secara bebas dan adil.

Suu Kyi telah ditahan semenjak kudeta dan tengah menghadapi serangkaian dakwaan yang bisa membuatnya dipenjara selama lebih dari 150 tahun.

Dalam pidato yang disiarkan hari Senin, Min Aung Hlaing tidak menyebut tanggal pasti penyelenggaraan pemilu terbaru, namun menyatakan bahwa pemilu baru bisa digelar ketika negara itu “damai dan stabil.”

Ia juga mengatakan, perlu dilakukan “reformasi” sistem pemilu di negara itu, termasuk menggabungkan sistem first-past-the-post – siapa yang pertama melampaui jumlah minimal elektoral untuk menang, menjadi pemenangnya – dengan perwakilan proporsional.

Pengaruh “partai-partai kuat” sebelumnya telah melumpuhkan suara-suara politik lain di negara itu, katanya.

Pemimpin junta itu juga mengundang pemimpin sejumlah kelompok pemberontak etnis yang ada di negara itu untuk menghadiri pertemuan tatap muka putaran kedua.

Myanmar memiliki sekitar 20 kelompok tentara pemberontak berbasis etnis – banyak di antaranya menguasai petak-petak wilayah perbatasan terpencil dan telah berperang melawan satu sama lain maupun melawan militer selama puluhan tahun.

Sebagian kelompok tentara pemberontak itu mengutuk kudeta yang terjadi dan menawarkan perlidnungan dan pelatihan senjata kepada “Pasukan Pertahanan Rakyat” (PDF) yang bermunculan sejak kudeta, dan yang menurut para analis telah mengejutkan pihak junta militer karena keefektifannya.

Beberapa kelompok pemberontak etnis telah menghadiri “perundingan damai” putaran pertama dengan pihak junta Mei lalu, meskipun kelompok-kelompok yang berjuang bersama pemberontak anti-junta justru menjauhkan diri. (rd/lt)

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!