Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPM-OPM) melakukan serangan terhadap masyarakat sipil di Nduga, Papua, mengakibatkan sebelas orang meninggal, dan dua luka berat. Komnas HAM Papua belum mampu mengirim tim ke Nduga, karena situasi yang tidak kondusif.
Situasi keamanan yang tidak menentu membuat Komnas HAM Perwakilan Papua belum mengirim tim investigasi ke Nduga. Padahal, serangan mengerikan itu telah terjadi pada 16 Juli 2022 lalu. Kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM Papua, Frits Ramandey mengonfirmasi itu, ketika dihubungi VOA, Senin (25/7).
“Lokasi itu masih terlalu beresiko untuk mengirim tim kesana, karena kelompok sipil bersenjata itu belum bisa dinegosiasi. Jadi itu lokasi yang masih sangat tertutup, dilokalisir oleh kelompok sipil bersenjata, yang dia secara sporadis itu biasa melakukan teror. Jadi akan sangat sulit untuk tim manapun untuk bisa datang ke sana,” kata Frits.
Nduga adalah kabupaten yang berada di wilayah pegunungan, dengan ketinggian 1.500-2.000 meter di atas permukaan laut. Pada 2018 lalu, sekurangnya 28 pekerja yang sedang membangun jalan Trans Papua, juga menjadi korban aksi serangan bersenjata dari TPN-OPM.
Sejauh ini, ada dua dugaan yang disampaikan Frits, terkait aksi dua pekan lalu. Pertama, kelompok yang melakukan aksi ini ini ingin menunjukkan eksistensi mereka, sebagai kelompok sipil bersenjata yang berafiliasi dengan gerakan pembebasan Papua. Kedua, aksi tersebut terkait dengan gejolak yang terjadi beberapa waktu terakhir,sebagai protes terhadap kebijakan daerah otonom baru.
Tentu, pembunuhan terhadap masyarakat sipil, adalah tindak pelanggaran HAM.
“Kalau kemudian definisi pasal 1 tentang pelanggaran hak asasi manusia berdasarkan Undang-Undang 39/1999 definisi itu terpenuhi. Karena pelanggaran HAM dalam undang-undang itu menyebutkan, perbuatan seseorang, sekelompok orang, atau pun kemudian aparatur negara, yang mengakibatkan hilangnya hak hidup warga negara. Itu dia adalah pelanggaran HAM,” tegas Frits.
Namun, untuk masuk menjadi pelanggaran HAM berat, kewenangan ada di Komnas HAM, yang harus menerjunkan tim khusus untuk melakukan investigasi.
Seperti peristiwa 2018, pembantaian massal ini sudah direncanakan oleh sekelompok orang. Mereka menyerang dengan cepat dan mempersiapkan alat-alat, baik itu senjata tajam maupun senjata api. Frits mengaku, tahun lalu pernah bertemu dengan komandan TPN-OPM Goliath Tabuni, dan meminta perlindungan masyarakat sipil di kawasan itu.
“Saya berkomunikasi langsung dengan Goliath Tabuni, dan sebenarnya pesan dia menolak seluruh operasi-operasi yang menggunakan cara-cara kekerasan terhadap masyarakat sipil itu Goliath sampaikan kepada saya di Puncak, ketika saya mendatangi markas mereka untuk melakukan negosiasi pemulangan warga sipil pasca penembakan Kabinda Papua tahun lalu,” tambahnya.
Sayang sekali, komitmen pimpinan TPN-OPM itu tidak dipatuhi oleh anggotanya di bawah.
Polisi Selamatkan 13 Korban
Dalam keterangan resminya, Kepala Bidang Humas Polda Papua Kombes Pos Ahmad Musthofa Kamal menyebut, personel gabungan TNI-Polri dibantu Satgas Operasi Damai Cartenz berhasil mengevakuasi 13 korban, hingga Rabu (20/7). Penembakan itu sendiri dilakukan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) pimpinan Egianus Kogoya.
Kamal yang juga Kasatgas Humas Operasi Damai merindi, proses evakuasi para korban dilakukan dua kali.
“Evakuasi pertama dilakukan pada Sabtu (16/7) pukul 15.30 WIT, terhadap dua korban luka-luka dengan menggunakan Heli Bell Polri, tiga korban meninggal dievakuasi menggunakan pesawat Rimbun Air sementara enam korban meninggal dievakuasi menggunakan Heli Caraka milik TNI AU menuju Mimika,” kata Kamal.
Dia juga mengatakan, satu korban diambil pihak keluarga dan dimakamkan di Kenyam, Kabupaten Nduga.
Setelah dua belas korban itu, dilakukan pula evakuasi kedua terhadap jenazah Roy Manimpiring, di tanjakan Adumama, Distrik Kenyam pada Selasa (19/7).
“Tim yang dipimpin Kapolres Nduga, AKBP Rio Alexander Paranewen, bergerak menuju lokasi setelah berhasil mengetahui posisi jenazah, namun tim mendapat gangguan tembakan yang dilakukan oleh KKB dari dua arah,” jelas Kamal.
Evakuasi pertama itu ditunda, dan baru berlanjut pada Rabu (20/7), dimana tim berhasil mengevakuasi jenazah korban terakhir dan membawanya ke Puskesmas Nduga. Korban terakhir ini akhirnya diterbangkan menuju Mimika, pada Kamis (21/7).
Nduga Kawasan Perang
Aktivis pembela HAM Papua, Yones Dou melihat unsur budaya lokal berpengaruh dalam konflik ini. Dalam budaya perang, suku-suku di Papua memiliki cara yang berbeda. Suku Dani dan suku Moni, yang ada di kawasan pegunungan, biasa meminta seluruh pihak yang tidak terkait dengan perang untuk meninggalkan kawasan perang. Karena itu, perintah serupa sudah dikeluarkan sejak lima tahun lalu di Nduga.
“Jadi kalau perang, budaya mengatakan, sebelum dia perang itu dia kosongkan dulu kepada mayarakat sipil kedua belah pihak. Sedangkan yang bermusuhan, itu tetap ada di lokasi. Jadi itukan TPN-OPM sudah perintahkan, bahwa masyarakat sipil yang ada di lokasi daerah Nduga, dan beberapa kabupaten itu harus dikosongkan,” kata Yones kepada VOA.
Pada 2018 lalu, TPN-OPM memang meminta masyarakat, khususnya warga non asli Papua, untuk meninggalkan Nduga. Menurut Yones, hingga saat ini warga asli Papua di setidaknya 15 dari 32 distrik yang ada di Nduga, telah meninggalkan Nduga.
Yones sekali lagi meminta pemerintah dan TPN-OPM untuk duduk satu meja dan mencari jalan keluar damai dari konflik ini. Jika tidak, korban dari masyarakat sipil akan terus berjatuhan.
Lebih memprihatinkan lagi, di kawasan pegunungan konflik tidak memandang pekerjaan. Padahal di sejumlah suku, biasanya mantri atau tenaga kesehatan dan guru, siapapun itu tidak boleh dibunuh dalam perang.
“Sata pernah sampaikan kepada TPN-OPM, kapada komandannya, yang beberapa waktu dulu saya ketemu. Saya mengatakan tidak boleh masyarakat sipil, tidak boleh bunuh guru dan mantri,” kata Yones.
“Tetapi mereka katakan begini: TPN tetap TPN, militer tetap militer, aktivis HAM tetap aktivis HAM. Bapak punya tugas, bapak jalankan. Jangan bapak intervensi kami. Ini kalau sudah begini, kami juga ada ancaman dari mereka,” lanjut Yones.
Sama seperti Frits, jika seluruh korban yang terbunuh oleh serangan TPN-OPM adalah masyarakat sipil, menurut Yones tindakan itu melanggar HAM. Karena TPN-OPM menklaim, bahwa yang mereka bunuh adalah mata-mata militer, maka harus dicari kebenarannya. [ns/ab]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.