Hibachi sudah menjadi bagian kehidupan masyarakat di Amerika. Restoran ini kerap disamakan dengan teppanyaki, dan populer di Amerika sejak 1970an.
Koki di restoran ini bukan hanya dituntut mampu memasak steak atau makanan laut, yang umum ditawarkan, tetapi memasaknya langsung di depan konsumen.
“Awal-awal pertama memang grogi. Agak gemetar dikit. Masak kayaknya bisa hampir satu jam karena masak di depan customer berbeda (dibandingkan dengan) masak di belakang. Tidak ada yang lihat,” tuturnya.
Muharram Jaya dari Restoran Fuji di Georgia menuturkan pengalaman menjadi koki hibachi hampir 23 tahun lalu. Jumlah konsumen yang kita ladeni sekaligus, kata Jaya, bukan cuma satu orang. Rata-rata delapan dan bisa lebih pada akhir pekan atau hari-hari besar.
Ignatius Dwiyanto alias Yus alias Brother di Restoran Kobe di Alaska, juga grogi ketika pertama kali terjun sebagai koki hibachi.
“Panas dingin. Keringatan. Saya harus masak di depan customer, saya harus ngomong dengan customer. Saya baru pertama kali,” ungkapnya.
Yus digembleng satu bulan sebelum meladeni konsumen. Itu pun bertahap, dari dua konsumen, meningkat empat, sampai akhirnya ia dipercaya meladeni grup keluarga, bahkan belasan orang. Semakin banyak orang yang diladeni, semakin besar uang tips yang masuk ke kantong.
“Rekor (tips) saya $520, satu malam,” tambah Yus.
Tujuan konsumen ke hibachi, menurut Jaya, bukan untuk makan saja tetapi kumpul keluarga dan menikmati interaksi dengan koki yang menghibur sementara memasak makanan yang dipesan.
Muharram Jaya menambahkan, “…mengadakan show dan komunikasi dengan customer. Itu yang paling penting, selain quality makanan.”
Kemampuan berinteraksi dan menghibur begitu utama sehingga seringkali makanan menjadi nomor dua, kata Ricky Bobby dari Restoran Fujiyama di West Virginia.
Ia lebih dikenal di Youtube sebagai Pak De atau Chef Dancuk.
“Begitu friendly, begitu dekat. Kita ngobrol seperti teman, ketawa ha ha hi hi, makanan gak jadi nomor satu. Yang penting mereka happy,” ujarnya.
Menurut Yus, yang berpengalaman delapan tahun, koki hibachi adalah pekerjaan yang menggabung seni memasak dan seni menghibur. “Wajah mesti tersenyum. Dan human relation kita mesti bagus.”
Selelah apapun, kata Yus, chef harus bisa tertawa, sementara terus melempar guyonan untuk menyenangkan pelanggan. Dan semua itu dilakukan dalam Bahasa Inggris.
Ricky mengakui kemampuannya berbahasa Inggris masih jauh dari sempurna. Tetapi, ia menutupinya dengan terus berbicara. “Jadi, ketika saya masak, customer sudah saya anggap orang biasa. Walaupun tidak kenal, sudah saya anggap orang Tulung Agung,” katanya.
Yus menambahkan bahwa pelanggan umumnya tidak menuntut koki mampu berbahasa Inggris dengan sempurna. “Tidak perlu perfect banget. Yang penting dia mengerti apa yang kita omongkan.”
Dengan banyak tuntutan seperti itu, mengapa justru banyak orang Indonesia di Amerika mengincar profesi ini?
Gajinya besar, kata Yus, yang juga diakui Jaya dan Ricky. Rata-rata $5.500-$7.000 per bulan. Gaji itu utuh karena koki ditampung di rumah pemilik resto. Mereka tidak membayar sewa, tidak membayar listrik, gas dan air. Makan disediakan di restoran.
Selain itu, kata Ricky yang menjadi kepala chef dan ikut memiliki restoran tempatnya bekerja, chef menempati posisi yang tinggi dan tidak mudah digantikan. “Jadi kalau kita sudah jadi hibachi chef, tidak ada ceritanya kita tidak mendapat pekerjaan. Pekerjaan yang mencari kita.”
Sebelum pandemi, menurut Ricky, sekitar 4.000 orang Indonesia mengisi posisi itu. Jumlah itu turun 40 persen setelah pandemi.
Dengan semakin pulihnya ekonomi di Amerika, kebutuhan akan koki semakin tinggi. Ini peluang yang terbuka lebar bagi orang Indonesia. Dan pemilik resto, kata Jaya dan Ricky, cenderung memilih koki dari Indonesia. Alasannya, orang Indonesia murah senyum dan cepat belajar. [ka/ab]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.