Sejumlah aktivis pengendalian tembakau sepakat bahwa pemerintah perlu meningkatkan tarif cukai rokok untuk menekan jumlah perokok di dalam negeri, termasuk di dalamnya jumlah perokok di kalangan anak-anak.
Peningkatan tarif cukai rokok dinilai tidak hanya dapat menekan jumlah perokok namun juga memberikan keuntungan dari segi ekonomi.
Aliansi Pengendalian Tembakau Asia Tenggara atau Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA), menyoroti potensi dana sebesar Rp108 triliun yang hilang akibat cukai yang tidak optimal, serta fakta bahwa terdapat 457.700 masyarakat Indonesia yang meninggal dunia akibat masalah rokok. SEATCA merekomendasikan kenaikan level cukai rokok hingga 25 persen, sehingga dapat berpengaruh terhadap penerimaan negara dan diharapkan mampu menurunkan jumlah perokok.
Ketua Umum Komite Nasional Pengendalian Tembakau, Hasbullah Thabrany, mengatakan kenaikan tarif cukai sebagai instrumen paling efektif dalam kebijakan pengendalian tembakau. Tingkat cukai di Indonesia, menurutnya, masih sangat rendah sehingga memungkinkan konsumsi rokok di masyarakat masih sangat tinggi.
“Tingkat cukai Indonesia masih terlalu rendah untuk tingkat income atau tingkat pendapatan per kapita penduduk, sehingga konsumsi belum cukup tertekan atau terkendali, sebagaimana cita-cita atau fitrahnya dari sebuah cukai yang sudah diatur dalam Undang-Undang Cukai, untuk pengendalian konsumsi,” ujar Hasbullah.
Data dari Komnas Pengendalian Tembakau menunjukkan bahwa jumlah perokok di Indonesia kini telah mencapai 65 juta jiwa, termasuk di antaranya anak-anak. Organisasi tersebut mencatat bahwa setiap tahunnya sekitar 300 miliar batang rokok kretek diproduksi dan dijual kepada masyarakat Indonesia, yang merupakan salah satu pasar rokok terbesar di dunia.
Pengendalian tembakau melalui kebijakan cukai, menurut ekonom Faisal Basri, sangat penting dalam mengendalikan konsumsi rokok di masyarakat. Faisal mengatakan rokok telah menjadi semacam kebutuhan nomor dua setelah makan pada masyarakat di desa maupun kota.
Hal tersebut tercerminkan dalam angka konsumsi rokok di desa yang mencapai 11,63 persen, atau naik dari semula 5,9 persen pada tahun sebelumnya. Sedangkan pada masyarakat kota, konsumsi rokok tercatat 12,21 persen atau naik dari angka 7,93 persen. Masih tingginya konsumsi rokok pada masyarakat, menurut Faisal, turut menyumbang angka kemiskinan di Indonesia.
“Jadi, semakin mengeruk makin dalam koceknya orang miskin. Oleh karena itulah pengendalian mutlak harus kita lakukan, kalau tidak maka kemiskinannya makin lama makin susah diturunkan,” ujarnya.
Faisal merasa pemerintah belum secara serius menanggapi masalah mengenai tingginya jumlah perokok di dalam negeri. Hal tersebut terbukti dari tidak adanya kebijakan dalam penerapan tarif cukai yang tinggi.
Sang ekonom berpendapat hal ini tentu dipengaruhi oleh keuntungan yang dirasakan oleh pemerintah dengan kehadiran industri rokok yang menyumbang penerimaan negara yang cukup besar selain dari sumber daya alam. Meski belum naik secara optimal, cukai dari hasil tembakau mendominasi penerimaan cukai yang melebihi penerimaan laba dari BUMN, atau mencatat angka Rp200,9 triliun. Padahal penerimaan yang besar itu seharusnya dikembalikan untuk masyarakat yang terdampak akibat rokok.
“Realisasi sekarang ini, APBN baru berjalan setengah tahun, tapi sudah direvisi, direvisi ke atas, karena pemerintah tiba-tiba dapat sumber pendapatan yang besar sekali. Jadi, penerimaan negara tahun ini bagus sekali.”
Analis Kebijakan, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Febri Pamungkas, memastikan pemerintah telah mengeluarkan kebijakan baik fiskal dan non-fiskal yang bertujuan mengendalikan tembakau. Bahkan, kata Febri, pemerintah telah menyiapkan rencana revisi PP 109 Tahun 2012 yang mengatur tentang rokok, agar tercapai percepatan pengendalian tembakau yang lebih efektif.
“Dari keseluruhan policy terkait pengendalian tembakau ini memang harus secara bersama-sama dimajukan. Kami di Kementerian Keuangan sangat berharap bahwa kebijakan tarif cukai rokok, apa yang dilakukan Kementerian Keuangan ini juga dibarengi dengan kebijakan pengendalian tembakau di sisi non-fiskalnya.” [pr/rs]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.