Dalam pertemuan ke 10 Review Conference of the Parties to the Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons – atau konferensi untuk mengkaji perjanjian non-proliferasi senjata nuklir – yang dilangsungkan di markas PBB, New York, mulai Senin lalu (1/8), 191 negara yang menandatangani perjanjian itu mengkaji urgensi perjanjian penting itu. Termasuk Indonesia, yang secara khusus menyampaikan apa yang disebut sebagai “Indonesian Paper” yang merinci risiko dan konsekuensi program pengembangan kapal selam bertenaga nuklir yang sempat menimbulkan pro dan kontra.
Direktur Jenderal Kerjasama Multilateral Kementerian Luar Negeri Indonesia Tri Tharyat, yang sekaligus memimpin delegasi Indonesia dalam forum itu, mengatakan dokumen berjudul “Nuclear Naval Propulsion” itu dimaksudkan membangun kesadaran tentang potensi risiko program nuklir dan perlunya pengaturan mekanisme pelaporan dan pengawasan. Indonesia juga mendesak pemusnahan segera senjata nuklir dan pemanfaatan teknologi nuklir untuk tujuan damai.
Sebelumnya dalam pembukaan forum itu Senin lalu (1/8), Sekjen PBB Antonio Guterres menyampaikan peringatan mengerikan dengan mengutip perang di Ukraina, dan ancaman senjata nuklir terhadap konflik di Timur Tengah dan Asia, dua wilayah yang menurutnya “menuju malapetaka.”
“Kekelaman yang lenyap setelah berakhirnya Perang Dingin, kini kembali muncul. Sejauh ini kita sangat beruntung, tetapi keberuntungan bukan strategi, juga bukan perisai dari ketegangan geopolitik yang memuncak menjadi konflik nuklir. Saat ini, satu kesalahpahaman, satu salah perhitungan, akan memusnahkan umat manusia akibat nuklir. Kita semakin membutuhkan perjanjian non-proliferasi senjata nuklir,” kata Guterres.
Guterres memperingatkan bahwa terdapat hampir 13.000 senjata nuklir di berbagai gudang senjata di seluruh dunia, dan bahwa negara-negara yang mengupayakan “keamanan palsu” menghabiskan ratusan miliar dolar untuk “senjata pemusnah massal” itu.
China Minta Masyarakat Internasional Tak Tetapkan Standar Ganda
Direktur Jenderal Departemen Pengendalian dan Perlucutan Senjata di Kementerian Luar Negeri China, Fu Cong, yang berbicara dalam forum itu hari Selasa (2/8), mengatakan meskipun China berkomitmen untuk membela diri, pihaknya “tidak akan menjadi yang pertama menggunakan senjata nuklir, sampai kapan pun dan dalam kondisi apapun.”
Ia menambahkan masyarakat internasional harus menolak standar ganda dalam non-proliferasi, dan menyerukan Amerika untuk “menarik semua senjata nuklirnya dari Eropa dan menahan diri untuk menyebarluaskan senjata nuklir ke wilayah lain,” dan bahwa “situasi keamanan di Semenanjung Korea tetap rumit dan serius.”
Sementara itu, dalam keterangan persnya, Menteri Luar Negeri Amerika Antony Blinken menggarisbawahi pentingnya perjanjian yang menjadi penentu kuat menciptakan dunia menjadi tempat yang lebih aman.
“Perjanjian ini telah diberlakukan selama 50 tahun. Perjanjian ini menjadi penentu yang kuat bagi dunia dalam menciptakan tempat yang lebih aman, yang tidak terlalu berbahaya. Memastikan bahwa negara-negara dengan senjata nuklir – termasuk Amerika – mengupayakan perlucutan senjata, memastikan agar negara-negara yang tidak memiliki senjata nuklir tidak berupaya memperolehnya dengan menjunjung tinggi dan memperkuat non-proliferasi, dan memastikan agar negara-negara terlibat dalam penggunaan energi nuklir untuk tujuan damai,” ujar Blinken.
NPT, Perjanjian Non-Proliferasi Paling Kuat Yang Pernah Ada
Perjanjian Non-Proliferasi yang dikenal sebagai NPT dan berlaku sejak tahun 1970 merupakan perjanjian pengendalian senjata apapun yang paling dipatuhi. Perjanjian tersebut diikuti oleh sekitar 191 negara.
Berdasarkan ketentuan NPT, lima negara yang pertama kali memiliki senjata nuklir – yaitu Amerika, China, Rusia, Inggris dan Prancis – setuju untuk berunding agar pada suatu hari nanti mereka memusnahkan persenjataan tersebut; sementara negara-negara yang tidak memiliki senjata nuklir berjanji untuk tidak mengupayakan kepemilikan senjata tersebut dengan imbalan dapat mengembangkan energi nuklir untuk tujuan damai.
India dan Pakistan Tak Ratifikasi NPT
India dan Pakistan, yang tidak bergabung dalam NPT, masih terus mengupayakan pembuatan bom nuklir. Begitu juga Korea Utara, yang meratifikasi pakta itu tetapi kemudian mengumumkan akan menarik diri.
Sementara Israel, yang tidak menandatangani NPT, diyakini memiliki senjata nuklir tetapi tidak membenarkan ataupun menyangkalnya.
Meskipun demikian, perjanjian itu dinilai berhasil membatasi jumlah senjata nuklir baru sebagai kerangka kerja sama internasional dalam hal perlucutan senjata.
Pertemuan itu, yang akan berakhir 26 Agustus, bertujuan menghasilkan konsensus tentang langkah-langkah selanjutnya, tetapi kalau pun ada, kecil harapan akan tercapainya kesepakatan yang substansial. [em/ka]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.