Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga, Kementerian PPN/Bappenas, Woro Srihastuti Sulistyaningrum, mengungkapkan berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2021, angka perkawinan anak di Indonesia mengalami penurunan dari 10,35 persen pada tahun 2020 menjadi 9,23 persen pada tahun 2021.
Perkawinan anak adalah perkawinan formal atau informal di mana salah satu atau kedua pihak berusia di bawah 18 tahun.
Berdasarkan data itu, 29 provinsi mencatat penurunan angka perkawinan anak, sementara lima provinsi lainnya membukukan kenaikan. Kelima provinsi yang mencatat kenaikan itu adalah Sulawesi Barat, Bengkulu, Maluku, DKI Jakarta dan DI Yogyakarta.
Sulawesi Barat tercatat sebagai provinsi dengan angka perkawinan anak tertinggi (17,71 persen). sementara Riau tercatat sebagai daerah yang terendah (2,89 persen).
“Jadi ini adalah gambaran secara nasional namun yang perlu kita perhatikan di sini adalah bagaimana kita memastikan kepada provinsi-provinsi yang masih cukup tinggi angka perkawinan anaknya untuk berupaya lebih keras lagi, lebih fokus lagi di dalam upaya pencegahan perkawinan anak,” kata Woro Srihastuti dalam Peluncuran Buku Saku Pencegahan Perkawinan Anak dan Program Generasi Emas Bebas Perkawinan Usia Anak, Kamis (4/8).
Upaya pencegahan perkawinan anak, menurut Woro, bisa dilakukan di antaranya melalui peningkatan pemahaman masyarakat terkait bahaya perkawinan anak dan penguatan kapasitas anak agar dapat bersikap tegas dalam menolak perkawinan. Woro juga mengungkapkan pentingnya memperkuat pengawasan berbasis masyarakat dan penegakan hukum, khususnya terhadap pihak-pihak yang memaksakan perkawinan anak.
Peluncuran Baku Saku Pencegahan Perkawinan Anak
Direktur Eksekutif Yayasan Plan International Indonesia, Dini Widiastuti menyatakan capaian penurunan angka perkawinan anak di Indonesia menjadi 9,23 persen di tahun 2021 patut diapresiasi, namun masih diperlukan berbagai upaya kolaboratif untuk terus menurunkannya. Targetny, angka perkawinan anak tidak melebihi 8,74 persen pada tahun 2024 dan 6,94 persen pada tahun 2030.
Peluncuran buku saku Mari Kita Cegah Perkawinan Anak yang merupakan hasil kolaborasi Yayasan Plan International Indonesia dengan Kementerian PPN/Bappenas bertujuan untuk mencerdaskan anak dalam rangka melakukan upaya pencegahan perkawinan anak
“Kami percaya anak merupakan subyek penting dalam upaya pencegahan perkawinan anak oleh karena itu adanya buku saku PPA (Pencegahan Perkawinan Anak) yang berperspektif anak ini dapat menjadi salah satu strategi untuk meningkatkan kapasitas dan agensi anak agar mereka paham dan berani membuat keputusan untuk dirinya serta hidupnya dan menolak praktek perkawinan anak,” jelas Dini Widiastuti.
Buku setebal 32 halaman itu membahas mengenai hak anak, perkawinan anak, mengenali diri sendiri, serta anak sebagai pelopor dan pelapor untuk mencegah perkawinan anak. Berdasarkan buku saku tersebut, hingga tahun 2020 dari 100 anak terdapat 10 hingga 11 anak yang dilaporkan menikah.
Tantangan Pencegahan Perkawinan Anak
Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga, Kementerian PPN/ Bappenas, Woro Srihastuti Sulistyaningrum Woro menjelaskan terdapat lima tantangan dalam pencegahan perkawinan anak di Indonesia diantaranya kenaikan angka dispensasi kawin anak di bawah usia 19 tahun.
Merujuk data Mahkamah Agung tahun 2021, angka dispensasi kawin anak pada tahun 2020 mencapai 65.301, jauh lebih tinggi dari tahun 2019 yang hanya 25.281. Pada 2021 jumlah kasus dispensasi kawin anak menurun menjadi 54.894, tetapi secara absolut angkanya masih lebih tinggi dibanding tahun 2019.
Undang-Undang No 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur batas minimal seseorang yang dizinkan menikah adalah 19 tahun, baik untuk laki-laki maupun perempuan.
Di Indonesia, masih juga ditemukan bannyak kasus perkawinan anak di bawah tangan (siri). Woro memperkirakan, lebih dari 330 ribu perkawinan anak dan remaja setiap tahunnya tidak dapat dicatatkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) atau Catatan Sipil karena tidak melalui pengadilan.
“Ini masih menjadi tantangan bagi kita, bagaimana kita bisa menemu kenali, mengidentifikasi siapa-siapa saja mereka yang mengalami perkawinan di usia anak yang tidak tercatat ini karena datanya tidak ada,” ungkap Woro Srihastuti.
Tantangan berikutnya adalah sistem data dan informasi yang belum optimal.. Belum ada data perkawinan anak hingga level desa, terutama perkawinan anak yang tidak dicatatkan, dan belum adanya data terpadu. Padahal, katanya, semua itu diperlukan untuk monitoring dan evaluasi. [yl/ab]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.