Sepulang dari Bapenda Kabupaten Bekasi, Usman langsung menyambangi para panitia yang mengurusi program PTSL di kampungnya. Dari mereka, ia mendapati tanah milik orang tua Usman diukur petugas tanpa sepengetahuan Usman dan keluarganya.
“Kenapa kok ada program PTSL, seorang panitia PTSL berani mengambil warkat saya, SPPT saya, tanpa seizin yang punya hak? Setiap pengukuran kan harus ada batas-batasnya. Dihadirkan (yang punya hak). Kok ini seolah-olah kayak nyolong,” tutur Usman.
Merasa jadi korban kejahatan mafia tanah, Usman melaporkan kasusnya ke Polres Bekasi, Mei lalu. Hingga kini, laporannya masih belum ditindaklanjuti. “Kenapa permasalahan yang saya hadapi diam di tempat. Ada apa?” tanya Usman.
Pekan lalu, Polda Metro Jaya menangkap tiga orang tersangka kasus mafia tanah. Salah satu tersangka yang berinisial NS merupakan kepala kantor BPN Palembang yang sebelumnya menjabat Kepala Seksi Infrastruktur Pengukuran BPN Kabupaten Bekasi.
Tersangka lain yang berinisial PS merupakan pensiunan pegawai BPN yang tercatat pernah menjabat sebagai Koordinator Pengukuran BPN Kabupaten Bekasi.
Usman mengaku sudah mendengar berita terkait itu. Namun, ia enggan menduga-duga tanah orang tuanya termasuk yang “dipermainkan” oleh mereka. “Biar pihak yang berwenang (yang mengusut). Cuma memang nyatanya saya korban,” tutur Usman.
Dede Karnata, 43 tahun, menceritakan persoalan berbeda terkait program PTSL di Kampung Kedung Lotong. Seperti Usman, Dede tinggal di kampung itu. Ia menyebut dua adiknya diminta pungutan sebesar Rp2 juta dan Rp4 juta untuk proses sertifikasi tanah milik mereka. Ibu mertua Dede “kena” Rp2,5 juta.
“Saya ke (kantor) dusun. Di dusun, saya menanyakan, ‘Maaf, Pak Kepala Dusun, kok adik saya ini PTSL kena Rp2 juta sampai Rp4 juta. Sebenarnya, PTSL biayanya berapa?’ Terus, kata dusun, jawabannya sekitar Rp 1,7 juta. Jadi, saya bingung yang mana yang benar?” tutur Dede kepada Alinea.id, Selasa (19/7).
Dede lantas bertanya kepada pihak Bapenda Kabupaten Bekasi. Di sana, ia mendapatkan informasi biaya PTSL untuk Jawa dan Bali hanya Rp150 ribu. Merasa ada yang tidak beres, Dede akhirnya melaporkan kasus pungli itu kepada polisi.
“Namanya juga orang kampung. Tidak tahu, ya, ikut saja. Padahal, dalam hati, ‘Kok, kita harus bayar sekian?’ Jadi, jangan kami sudah bodoh, enggak tahu apa-apa, malah ada yang memanfaatkan kebodohan kami,” cetus pria yang sehari-hari bekerja sebagai supir angkutan umum itu.
Diarak ke polsek
Nasib lebih nahas dialami Naidi, 59 tahun. Warga Kampung Pintu, Desa Bantarjaya, Kecamatan Pebayuran, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, itu mengaku pernah diarak oleh massa dari sebuah organisasi masyarakat dan aparatur desa ke polsek setempat karena urusan terkait sertifikat tanah.
Peristiwa itu terjadi tak lama setelah Naidi melaporkan dugaan perampasan sertifikat tanah atas nama istrinya, One, ke Polres Bekasi pada Februari 2020. Pihak yang diterka sebagai pelaku perampasan adalah kepala desa.
“Intervensinya luar biasa. Sudah (disebut melakukan) perbuatan tidak menyenangkan, (disangka melakukan) pencemaran nama baik pula. Saya ditunjuk-tunjuk di tengah jalan kayak maling. Kalau orang kena (serangan) jantung, bisa mati,” ujar Naidi kepada Alinea.id, Selasa (19/7).
Naidi menuturkan konflik antara dia dan kades bermula dari pembagian sertifikat tanah oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Desa Bantarjaya, akhir Juni 2019. Saat itu, istri Naidi mengambil sertifikat tanah dari BPN untuk rumah yang luasnya sekira 336 meter persegi.
Ketika sudah di tangan One, sertifikat itu diminta lagi oleh kepala desa. Sang kades berdalih mau mempelajari dokumen tersebut. Kades mengaku ingin tahu kenapa sertifikat yang diajukan berbasis SPPT seperti yang dilakukan One cepat dirilis BPN, sedangkan yang berdasarkan akta jual beli (AJB) tak kunjung dikeluarkan.
“Besok akan saya kembalikan kepada ibu,” kata Naidi menirukan ucapan sang kades kepada istrinya.
“Akhirnya, diberikan sama istri saya. Sampai sehari, dua hari, dua bulan enggak dikembalikan. Akhirnya, saya datangi ke kantor desa. Begitu saya datang ke kantor desa, dia enggak ngantor.”
Tak mendapati orang yang dicari, Naidi lantas menuju rumah kepala desa. Sang kades ada di rumah. Naidi langsung menanyakan keberadaan sertifikat tanah atas nama istrinya. Akan tetapi, kades mengatakan sertifikat One bermasalah.
Naidi mempersoalkan klaim sang kades. Pasalnya, ia sudah 30 tahun tinggal bersama sang istri di rumah tersebut. Rumah itu sebelumnya juga ditinggali ibunda One. Tidak pernah ada yang menggugat mereka. “Itu tanah waris dari orang tuanya (One),” ujar Naidi menirukan jawabannya kepada kades.
Sang kades bersikukuh dengan pendiriannya. Kades bahkan menantang untuk saling lapor ke polisi. Naidi menyanggupi tantangan itu.
Sepekan menunggu, Naidi tak kunjung mendapat panggilan dari kepolisian. Ia lantas kembali kantor kades lagi untuk menanyakan sertifikat tanah istrinya. Sang kades lagi-lagi sedang tidak ada di kantor.
Tak mau pulang dengan tangan kosong, Naidi menyambangi kantor Kecamatan Pebayuran. Di sana, petugas kecamatan malah meminta Naidi bertanya langsung kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) karena PTSL adalah program presiden.
Tanpa pikir panjang, Naidi mengikuti saran dari petugas kecamatan itu. “Akhirnya, saya kirim surat ke Istana (Presiden) mempertanyakan tentang aturan BPN tentang PTSL,” ujar pria yang sehari-hari bekerja sebagai buruh lepas itu.
Tak disangka, Istana Presiden merespons surat Naidi. Pada Desember 2019, Naidi bersama lima warga setempat lainnya datang ke Istana untuk audiensi. Saat itu, pihak Istana menjelaskan seluk-beluk PTSL, termasuk biaya yang harus dikeluarkan sebesar Rp150 ribu untuk sertifikasi tanah di Pulau Jawa dan Bali.
Ketentuan biaya tersebut berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi tentang Pembiayaan Persiapan Pendaftaran Tanah Sistematis.
“Kalau biayanya lebih dari itu, berarti pungli,” ucap Naidi mengulangi pesan pihak Istana.
Naidi juga mempertanyakan hal yang sama kepada Bapenda Kabupaten Bekasi. Di sana, dia mendapatkan jawaban yang sama terkait biaya sertifikasi PTSL. Pada Februari 2020, ia resmi melaporkan kasusnya ke penegak hukum. “Sudah dua tahun enggak berjalan,” imbuh Naidi.
Naidi mengungkap persoalan serupa juga dialami kerabatnya, Sutisna yang tinggal Kampung Kedung Lotong. Naidi menyebut Sutisna bersama istrinya belum juga memperoleh sertifikat atas dua bidang tanah yang diajukan dalam program PTSL.
“Dia pengajuan, (menggunakan) AJB asli. AJB asli pengajuannya sampai sekarang tidak ada. AJB belum ada, sertifikat belum ada juga,” ujar Naidi.
Sanksi tegas
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Hengki Haryadi mengatakan Polda Metro Jaya telah menginvestigasi 10 laporan terkait mafia tanah sejak 2020. Sebanyak 30 orang telah ditetapkan sebagai tersangka. Mayoritas tersangka adalah pegawai BPN dan pihak swasta.
Menurut Hengki, setidaknya ada lima modus yang teridentifikasi dilakukan para mafia tanah. Salah satunya dengan mengakali data sertifikat dalam program PTSL. Dalam beberapa kasus, sertifikat seolah sudah diberikan kepada pihak yang mengajukan. Ketika dicek, sertifikat justru diberikan kepada orang lain.
“Sertifikat ini diganti data identitasnya, data yuridis, kemudian data fisik dan juga masuk kepada akses ilegal untuk masuk ke KKP (komputerisasi kegiatan pertanahan/KKP) di sana. Terjadilah perubahan identitas dan lain sebagainya,” kata Hengki dalam jumpa pers di Polda Metro Jaya, Senin (18/7)
Modus lainnya, semisal membidik lahan kosong yang tak dijaga, memalsukan dokumen lahan yang belum bersertifikat, dan membobol bank data BPN menggunakan akun akun ilegal KKP. Khusus modus terakhir, Hengki mengatakan penyidik sudah menemukan tiga korban.
“Kami sedang selidiki korban posisinya di mana, profiling di mana karena memang banyak korban yang tidak sadar bahwa tanahnya sudah diambil alih oleh mafia-mafia ini,” jelas Hengki.
Pada kesempatan yang sama, Menteri ATR/BPN Hadi Tjahjanto mengingatkan agar pegawai BPN tidak menyalahgunakan wewenang saat bertugas. Ia menjanjikan sanksi yang tegas kepada pegawai BPN yang kedapatan nyambi sebagai mafia tanah.
“Apabila terjadi pelanggaran, saya tidak segan-segan untuk segera mencopot, memproses hukum, dan pecat. Kita tidak ingin mendengar ada rakyat yang memiliki tanah sah, tiba-tiba suatu saat datang buldozer dan harus digusur,” kata dia.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan kasus mafia tanah terus berulang lantaran tanah sebagai komoditas harganya yang tak pernah turun. Di lain sisi, pengawasan pemerintah terhadap sertifikasi tanah milik warga juga tergolong lemah.
“Karena itu, terjadilah pemalsuan-pemalsuan yang dilakukan oleh ASN (aparatur sipil negara) tingkat kelurahan dan kecamatan. Demikian juga oknum-oknum BPN sebagai instansi yang mengeluarkan sertifikat merasa berkuasa. Padahal, itu kewenangan negara yang diselewengkannya,” ujar Fickar kepada Alinea.id, Selasa (19/7).
Sebagaimana yang dinyatakan Hadi, Fickar sepakat sanksi yang tegas perlu diberikan kepada oknum-oknum pegawai pemerintah yang tersangkut kasus mafia tanah. “Kalau perlu, (dipenjara) seumur hidup agar ada penjeraan bagi oknum-oknum yang belum tertangkap,” ujar dia.
Artikel ini bersumber dari www.alinea.id.