Travel  

Ada Apa di Museum Taman Prasasti Jakarta?

Ada Apa di Museum Taman Prasasti Jakarta?

korannews.com – Museum Taman Prasasti memiliki daya tarik tersendiri dan dapat menjadi pilihan museum untuk dikunjungi saat berakhir pekan.

Letaknya di Jalan Tanah Abang 1, Jakarta Pusat ini. Museum museum ini menyimpan 993 prasasti nisan dari orang-orang asing yang pernah tinggal di Batavia jaman dahulu.

Sebelum diresmikan menjadi museum pada 1977, museum dengan luas sekitar 1,3 hektar ini dulunya merupakan sebuah kompleks pemakaman khusus orang asing di Batavia yang dibuat oleh Pemerintah Belanda pada 1795.

“Dulu ini adalah pemakaman yang dibuat oleh Pemerintah Belanda tahun 1795, nah itu bertahan sampai 1975,” ucap Petugas Museum Taman Prasasti, Eko Yudi, saat ditemui Kompas.com, Sabtu (28/1/2023).

Awalnya pemakaman tersebut memiliki luas 5,5 hektar, dengan jumlah makam mencapai ribuan.

Hingga pada akhirnya Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin, ingin menjadikan pemakaman tersebut sebagai Museum Prasasti. Sisa tanah yang digunakan untuk museum pun dikecilkan hingga 1,3 hektar.

Nah, apa saja yang tersimpan dalam museum berkonsep outdoor (luar ruangan) itu? Berikut ulasannya.

Koleksi di Museum Taman Prasasti

1. Nisan para tokoh penting jaman Hindia Belanda

Di sini pengunjung bisa menemukan sejumlah batu nisan dari para tokoh penting di masa Hindia Belanda dulu.

Seperti batu nisan H.F Roll, yaitu pendiri STOVIA atau sekolah kedokteran zaman Belanda yang menjadi cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Ada juga batu nisan Olivia Marianne Raffles, istri dari Thomas Stamford Raffles yang menjabat sebagai Gubernur Hindia Belanda periode 1811-1816.

Tak jauh dari sini, pengunjung juga bisa menemukan makam sahabat sekaligus penasehat Thomas Stamford Raffles, bernama Layden.

Selain itu, di sini kamu juga bisa menemukan batu nisan Marius Hulswit, sang perancang sekaligus yang membangun Gereja Katedral pada tahun 1899-1901.

Lalu ada nisan Pieter Gerardus Van Overstraaten, yakni Gubernur Jenderal VOC terakhir yang menjabat tahun 1796-1801, pada saat VOC mendekati ambang kebangkrutan.

Ada pula nisan dari Willem F Stutterheim, ahli kepurbakalaan Indonesia yang bekerja di Dinas Purbakala Hindia Belanda, dan masih banyak lagi.

2. Nisan para pemuka agama Katolik di Batavia

Tidak hanya para tokoh profesional saja, di museum ini juga pernah bersemayam sejumlah pemuka agama di Batavia, seperti Pastor Van Der Grinten, yang menjadi pendeta kepala Gereja Katolik Batavia (gereja katolik pertama di Batavia).

Lalu ada nisan Monsignor Walterus Jacobus Stall, pendeta Belanda sekaligus uskup Gereja Katolik Roma.

Hingga batu nisan Monsignor Adami Caroli Claessens, seorang pastor kepala yang membangun kembali Gereja Katedral yang sempat roboh pada bulan Mei 1890.

3. Koleksi bukan nisan

Selain nisan, pengunjung bisa melihat koleksi lain berupa kereta pengantar jenazah dan peti di zaman dahulu.

Lalu, ada juga peti yang digunakan oleh Presiden dan Wakil Presiden Pertama Indonesia, Soekarno dan Moh.Hatta.

Salah satu koleksi bukan nisan yang cukup menyita perhatian adalah Monumen Pecah Kulit dengan tengkorak yang tertancap di atasnya.

Monumen ini mengisahkan nasib Pieter Erberveld, keturunan Indonesia berdarah campuran Jerman dan Thailand yang dituduh melakukan pemberontakan terhadap VOC, hingga dihukum mati tahun 1722 dengan cara ditarik empat kuda ke empat arah yang berbeda.

Serta Patung Crying Lady yang menceritakan kisah pilu seorang istri yang kehilangan suaminya akibat penyakit malaria.

Tidak ada Jenazah di Museum Taman Prasasti

Meski dulunya bekas kuburan, kini tidak ada lagi jenazah yang bersemayam di bawah nisan Museum Taman Prasasti.

“Ini museum, ya. Tidak ada jenazah, sudah diangkat semua jenazahnya, makanya disebut Museum Prasasti, isinya batu-batu nisan saja,” kata Yudi.

Semua jenazah sudah dipindahkan ke sejumlah lokasi. Ada yang diurus pihak keluarga, ada yang dipindahkan area Tanah Kusir dan Menteng Pulo Jakarta (kini Kasablanka).

“Pemindahan itu sudah selesai dilakukan dari tahun 1970-an, dan dibuka jadi museum tahun 1977 sudah tidak ada lagi jenazahnya,” tutur dia.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Exit mobile version