Laporan transparansi dari Twitter ini memperingatkan adanya rekor tertinggi terkait permintaan data akun pengguna yang dilakukan oleh instansi pemerintah di beberapa negara.
Platform media sosial Twitter diketahui baru saja menerbitkan laporan transparansi mereka yang ke-20. Pada laporan tersebut, platform asal Amerika Serikat ini menunjukkan adanya kenaikan signifikan dalam jumlah permintaan data akun pengguna.
Jejaring sosial itu melihat adanya ‘rekor tertinggi’ dalam jumlah permintaan data akun selama periode pelaporan Juli-Desember 2021, dengan 47.572 tuntutan hukum pada 198.931 akun. Tentunya, detail ini sangat tidak meyakinkan bagi pengguna yang khawatir tentang penyalahgunaan informasi pribadi.
Berdasarkan laporan dari Twitter, media disebut masih menjadi sasaran pertama yang memperoleh banyak tekanan. Sejauh ini, aplikasi tersebut mencatat, tuntutan pemerintah untuk data dari outlet berita dan jurnalis terverifikasi melonjak 103 persen dibandingkan dengan laporan terakhir, dengan 349 akun dalam pengawasan.
Dilansir dari Engadget (2/8), negara dengan permintaan informasi data akun pengguna yang menargetkan industri berita meliputi India, Turki dan Rusia. Lewat laporan yang ada, India tercatat telah meminta data akun pengguna sebanyak 114 kali, disusul dengan Turki sebanyak 78 kali dan Rusia sebanyak 55 kali.
Sementara itu, pada laporan di beberapa tahun sebelumnya, AS menduduki peringkat pertama dalam permintaan data akun pengguna aplikasi Twitter. Negara tersebut menyumbang 20 persen dari semua permintaan data akun di seluruh dunia yang mencakup 39 persen dari total keseluruhan akun yang ditentukan.
Platform media sosial ini mengungkap, Rusia masih menjadi pemohon terbesar berikutnya untuk permintaan data akun pengguna. Bahkan, jika permintaan negara tersebut turun sebanyak 20 persen selama jangka waktu enam bulan.
Terkait permintaan data akun pengguna, Twitter menyatakan masih menolak atau membatasi akses ke data tersebut apabila memungkinkan. Sejauh ini, Twitter telah menolak 31 persen permintaan data AS dan mempersempit 60 persen permintaan global. Selain itu, Twitter disebut juga menentang 29 upaya sipil untuk mengidentifikasi pengguna anonim AS dengan alasan Amandemen Pertama.
Permintaan data akun pengguna yang diterima oleh Twitter dilaporkan melonjak mulai awal tahun 2020 dan terkonfirmasi dari laporan transparansi yang baru saja diterbitkan perusahaan. Data di dalam laporan tersebut menunjukkan, permintaan terkait data akun pengguna hingga sekarang terus meningkat.
Bahkan, dalam laporannya, Twitter melihat upaya untuk menargetkan jurnalis menjadi lebih besar pada permintaan data akun yang dilakukan oleh instansi pemerintah dari beberapa negara. Menurut Twitter, hal ini bisa menjadi ancaman yang meningkat terhadap kebebasan pers.
“Kami akan menambahkan bahwa situasinya tidak stabil, setidaknya dalam waktu dekat,” ujar Twitter, dikutip dari Engadget.
Artikel ini bersumber dari www.tek.id.