News  

Warisan Berdarah Kepresidenan Rodrigo Duterte

Warisan Berdarah Kepresidenan Rodrigo Duterte

Suara.com – Satu tengkorak berguling ke arah kaki saya.

Tengkorak itu akan mengenai celana jika tidak terhalang tali kantong mayat yang digunakan untuk membungkusnya.

Gemma Baran berdiri di sebelah saya. Dia menyaksikan dengan rasa terkejut dan miris saat tulang-tulang suaminya dimasukkan ke dalam kantong tersebut.

Perempuan berumur 44 tahun itu telah menguburkan jenazah suaminya, Patricio Baran, di pemakaman ini lima tahun lalu. Namun sekarang dia tidak mampu lagi membayar harga sewa tanah pemakaman.

Baca Juga:
Presiden Baru Filipina Ferdinand Marcos Dilantik Gantikan Duterte

Di Kota Manila yang padat, masyarakat miskin kerap mengubur sanak famili mereka di pemakaman sewaan. Satu liang kubur harus ditebus uang sewa sekitar Rp3 juta.

Baca juga:

Baru-baru ini Gemma ditawari kuburan gratis memindahkan tulang mendiang suaminya. Penawaran itu muncul dari gereja Katolik setempat, yang menggelar program “penyembuhan” atau yang dalam bahasa lokal disebut paghilom.

Gereja memberi pendampingan kepada keluarga yang sanak familinya tewas akibat tindakan aparat dalam apa yang disebut sebagai “perang melawan narkoba” oleh Rodrigo Duterte, presiden Filipina yang masa jabatannya berakhir Kamis (29/06).

Kebijakan mengatasi narkoba itu, yang oleh sejumlah kalangan dituding melewati batas-batas hak asasi manusia, menempatkan Filipina dalam berita utama internasional dalam beberapa tahun terakhir.

Baca Juga:
Sara Duterte-Carpio Resmi Dilantik Sebagai Wapres Filipina

Patricio ditembak mati oleh aparat Filipina pada 9 Juli 2017. Laki-laki berusia 47 tahun itu bekerja sebagai penjaga keamanan.

Sehari sebelum ditembak, Patricio telah menghilang. Seorang tetangga mendengar tiga tembakan, tapi tidak melihat para penyerang. Polisi lalu membuat klaim bahwa mereka menemukan jenazah Patricio.

Di sebelah Patricio, menurut keterangan polisi, tergeletak sebuah pistol dan kertas bertuliskan “pengedar narkoba dan pemerkosa”.

Namun pihak keluarga membantah tuduhan yang disematkan kepada Patricio. Mereka berkata, Patricio tidak pernah menjual atau menggunakan narkoba.

Menurut Gemma, almarhum suaminya terlibat dalam sengketa tanah selama beberapa pekan sebelum tewas ditembak.

Gemma curiga bahwa Patricio dibunuh akibat urusan tanah tersebut, tteapi dia takut menentang polisi di depan umum.

Gemma berkata, sejak Patricio terbunuh, dia berjuang untuk membayar sewa dan menghidupi ketiga anak mereka. Dia bekerja sebagai asisten rumah tangga untuk mencari nafkah, selain juga mengandalkan bantuan makanan dari gereja.

“Saya benar-benar menderita. Saya tidak tahu harus berbuat apa untuk anak-anak saya,” ujarnya.

Gemma mengatakan, anak-anaknya adalah alasan dia tidak menuntut polisi menggelar penyelidikan atas kematian suaminya.

“Saya benar-benar takut. Saya hanya bisa bungkam,” tuturnya.

Pada suatu pagi yang cerah di bulan Juni, Pastor Flavie Villanueva berdoa untuk jenazah Patricio. Saat itu kantong berisi tulang-tulang Patricio ditutup dan dibawa ke tempat peristirahatan lain.

“Kami memutuskan memulai program ini untuk membantu keluarga korban yang berduka membangun dan memberdayakan kehidupan mereka lagi,” kata Pastor Villanueva, seorang imam Katolik yang sejak lama menentang pemerintahan Rodrigo Duterte.

“Perintah ‘bunuh, bunuh, bunuh’ dari Duterte adalah perintah yang disponsori negara dengan sengaja, yang telah menghasilkan ribuan janda dan yatim piatu. Ini adalah warisan paling tragis dari masa kepresidenannya,” ujar Pastor Villanueva.

Perang Duterte melawan narkoba

Tindakan keras Duterte terhadap narkoba didukung berbagai kalangan.

Kebijakan tersebut mengurangi jumlah “elemen jahat”, kata Ofelia, seorang ibu dari empat anak yang tinggal di Pinyahan, Manila utara. Warga permukiman ini pernah menghadapi angka kejahatan narkoba yang tinggi.

Pada tahun 2020, selama puncak pandemi, dua pria bersenjata bertopeng pernah melintasi pos pemeriksaan karantina polisi. Mereka datang untuk membunuh seorang tersangka pengguna narkoba, yang dikenal sebagai Bulldog. Kejadian itu berlangsung hanya 30 meter dari rumah Ofelia.

Ofelia, yang memilih Duterte pada pemilihan presiden sebelumnya, sedih melihat kematian Bulldog. Dia mengenal dan menyukai laki-laki itu.

“Peristiwa ini menyakitkan. Kesempatan kedua seharusnya diberikan padanya untuk berubah, bukan sesuatu yang begitu tiba-tiba,” kata Ofelia.

Bagaimanapun, Ofelia sebenarnya mendukung kebijakan terhadap narkoba ini. Menurutnya, saat ini penyalahgunaan narkotika tidak lagi terlihat di lingkungannyameski dia mengaku tak bisa menjawab apakah kehidupannya membaik atau memburuk sejak Duterte menjabat presiden.

Rodrigo “Digong” Duterte, yang sekarang berusia 77 tahun, terpilih memimpin Filipina pada Juni 2016. Dia dulu berkampanye akan secara keras memberantas narkoba dan berbagai bentuk kejahatan.

Kebijakannya yang disebut “perang melawan narkoba” telah menyebabkan ribuan tersangka pecandu dan pengedar narkoba tewas dalam operasi polisi yang kontroversial.

Ribuan orang lainnya ditembak mati oleh orang-orang bersenjata bertopeng tak dikenal, yang sering disebut oleh media Filipina sebagai vigilante alias orang-orang yang bertindak tanpa basis hukum.

Baca juga:

Selama masa kepresidenan Duterte, banyak kelompok menunjukkan bukti meningkatnya impunitas polisi akibat perang narkoba.

Pada tahun 2020, seorang polisi yang sedang tidak bertugas terekam menembak tetangganya setelah terlibat pertengkaran. Kejadian itu memicu kemarahan publik. Dia belakangan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.

Tak lama setelah saya tiba di Manila pada tahun 2017, 32 tersangka pengedar narkoba tewas dalam satu malam dalam operasi polisi berlabel “perang narkoba dipergencar”.

Banyak keluarga korban operasi ini berkeras bahwa sanak famili mereka tidak bersalah. Kelompok HAM dan publik internasional mengecam kekerasan tersebut.

Namun Duterte tidak terpengaruh dengan berbagai kecaman itu. Dia pernah berkata bahwa dia “akan dengan senang hati membantai tiga juta pecandu narkoba di Filipina”.

Duterte secara keliru membandingkan kampanye anti-narkobanya dengan Holocaust. Perkataannya itu dengan cepat mendapat kecaman dari Jerman dan kelompok-kelompok Yahudi.

Duterte secara konsisten merendahkan para pecandu dan pengedar narkoba. Di media sosial, para pendukung Duterte sering menyebut orang-orang ini sebagai “pemerkosa dan pembunuh” yang pantas disudahi hidupnya.

Menteri Luar Negeri Filipina era Duterte, Teodoro Locsin Junior, juga sempat memicu kemarahan global akibat serangkaian cuitan yang menyerukan Holocaust.

Salah satu cuitannya menyebut bahwa “ancaman narkoba Filipina begitu besar sehingga membutuhkan solusi akhir seperti yang diadopsi Nazi”.

Saya baru-baru ini bertanya kepada Locsin apakah dia melihat kesamaan antara Holocaust dan pembunuhan tersangka pecandu dan pengedar narkoba di Filipina.

“Tidak,” ujarnya menjawab pertanyaan saya. Namun dia mengakui terdapat masalah dalam kepolisian Filipina.

“Kami mencoba untuk memperbaikinya, namun kami tidak akan membiarkan perdagangan narkoba menguasai kehidupan politik sehingga kami tidak dapat memulihkan keadaan dan akhirnya berakhir seperti negara-negara di Amerika Tengah.”

Jumlah korban sebenarnya dari kebijakan Duterte terhadap narkoba tidak akan pernah diketahui. Awalnya, penghitungan resmi menggabungkan kematian yang dikonfirmasi selama operasi polisi dan yang diakibatkan kelompok vigilante “pria bertopeng”.

Pemerintah Filipina menyebutnya sebagai kematian dalam penyelidikan. Jumlah korban tewas mencapai puluhan ribu. Namun belakangan pemerintah menjatuhkan metrik perhitungan sehingga jumlah korban berkurang.

Angka resmi terbaru untuk jumlah tersangka pengedar dan pengguna narkoba yang terbunuh selama Juli 2016 dan April 2022 adalah 6.248 orang.

Banyak kelompok HAM percaya jumlah sebenarnya bisa mencapai 30.000 orang.

Kepolisian selalu mengatakan bahwa mereka hanya membunuh orang-orang yang terlibat narkoba untuk membela diri. Tapi rekaman CCTV, foto para korban yang menunjukkan bahwa mereka tidak berdaya, dan catatan pelapor menunjukkan kecenderungan yang lebih negatif.

Seorang kapten polisi di Kota Manila secara diam-diam diwawancarai dalam film dokumenter 2019 berjudul “On the President’s Orders”. Dia berkata, orang-orang bertopeng yang melakukan pembunuhan sebenarnya adalah polisi.

Duterte pernah mengatakan kepada aparat penegak hukum di sebuah acara anti-narkoba, “Anda mungkin akan ditembak. Tembak dia terlebih dahulu, karena dia akan benar-benar menodongkan senjatanya pada Anda, dan Anda akan mati.”

“Saya tidak peduli dengan HAM. Saya secara penuh akan memikul tanggung jawab hukum. Saya akan menghadapi pengacara hak asasi manusia itu, bukan Anda,” kata Duterte.

Orang kuat yang populer

Semua peristiwa dan kecaman ini tidak mengurangi popularitas Duterte. Dalam jajak pendapat, popularitasnya tetap tinggi meski dia dikecam dan penyelidikan terhadapnya atas dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan berlangsung di Pengadilan Pidana Internasional.

Beberapa kalangan mengaitkan tren ini dengan populisme agresif Duterte di negara miskin seperti Filipina, di mana kepercayaan publik terhadap sistem peradilan selalu rendah.

Ada pula yang lain menilai, terlepas dari karier politiknya yang panjang, Duterte berhasil memproyeksikan dirinya sebagai “orang luar”berlawanan dengan Keluarga Aquino dan Keluarga Marcos yang telah memerintah Filipina selama beberapa dekade.

Selama bertahun-tahun, Duterte menyebut dirinya sebagai “penghukum” yang “melanggar aturan”. Pilihan kata-katanya yang blak-blakan dan sering kali kasar diterima oleh masyarakat Filipina. Beberapa kalangan menyebutnya sebagai “tatay Digong” atau “Bapak Duterte”.

Pernyataan misoginis Duterte tentang perempuan dan komentar seksis atas pemerkosaan hanya dianggap lelucon oleh para pendukungnya.

Namun, kepribadiannya yang provokatif dan dukungannya terhadap kekerasan bukanlah hal baru. Duterte naik ke tampuk kekuasaan pada 1980-an ketika Filipina masih tenggelam dalam politik Perang Dingin.

Dia menjadi wali kota di Davao pada tahun 1988. Ini adalah kota di selatan Filipina yang menjadi basis perlawanan terhadap pemberontak komunis. Kelompok komunis ini menyerang polisi, pejabat, dan orang orang yang mereka anggap musuh.

Kelompok yang melawan kubu komunis ini disebut Alsa Masa (Kebangkitan Massa). Mereka mempersenjatai warga sipil. Menurut beberapa laporan, terjadi paksaan agar masyarakat sipil bergerak melawan komunis.

Beberapa pakar percaya bahwa Amerika Serikat berperan dalam peristiwa itu, mengingat mereka baru saja mengalami kekalahan yang mahal dalam Perang Vietnam.

Pemerintah AS disebut telah turut mempersenjatai kelompok-kelompok pejuang anti-Komunis di seluruh dunia.

Ketika ditanya apakah AS pernah terlibat dalam mendukung Alsa Masa, Locsin berkata, “Jika itu benar, saya harus menembak diri saya sendiri apabila saya memberi tahu Anda.”

“Situasi yang terjadi saat itu sungguh keras. Itu adalah masa di mana banyak hal harus diselesaikan secara tegas. Itu tidak terbayangkan pada masa sekarang. Kami bukan lagi orang yang sama sekarang,” ucapnya.

Banyak yang percaya, Alsa Masa adalah asal mula ‘kelompok main hakim sendiri’ dan “pasukan kematian” yang muncul di Davao di bawah kepemimpinan Duterte.

Korban dari milisi ini biasanya adalah kaum kiri, penentang pemerintah, dan tersangka kasus pidana, termasuk pengguna dan pengedar narkoba.

Investigasi terhadap lebih dari 1.000 pembunuhan dan penghilangan di Davao oleh PBB merujuk pada keterlibatan Duterte.

Pada sidang senat tahun 2016 tentang kasus itu, para saksi dari unsur kepolisian menggambarkan bagaimana “pasukan kematian Davao” memanipulasi keberadaan senjata dan obat-obatan untuk membentuk citra negatif pada korban.

Duterte, bagaimanapun, selalu bersikeras bahwa dia tidak pernah memberikan perintah langsung kepada bawahannya untuk melakukan pembunuhan. Namun pada tahun 2018 dia berkata, “Satu-satunya dosa saya adalah pembunuhan di luar proses hukum.”

Menyusutnya ruang demokrasi

Duterte pernah berjanji akan melakukan belanja infrastruktur dan melonggarkan pembatasan investasi asing. Walau begitu, pandemi dan resesi mengaburkan catatan ekonominya.

Duterte melakukan “pekerjaan yang baik” dalam menangani persoalan ekonomi, menurut April Tan, kepala strategi ekuitas COL Financial di Manila.

“Dia mengizinkan para teknokratnya untuk melakukan pekerjaan mereka. Sistem perpajakan berhasil direformasi. Banyak langkah yang dilakukan untuk meningkatkan insentif untuk melakukan bisnis di sini,” kata April Tan.

Para menteri di era pemerintahan Duterte juga memuji langkahnya membentuk kesepakatan damai yang menawarkan otonomi politik bagi jutaan Muslim Filipina di Pulau Mindanao.

Duterte juga melarang masyarakat merokok di tempat umum. Dia menjanjikan pendidikan gratis sampai tingkat universitas dan layanan kesehatan yang lebih rapi. Namun saat ini masih terlalu dini untuk mengukur keberhasilan inisiatif tersebut.

Salah satu janji terbesarnya adalah memberantas korupsi. Salah satu caranya dengan meluncurkan saluran khusus agar publik dapat melaporkan korupsi.

Namun pada tahun 2021, pemerintah Duterte malah menghadapi tuduhan korupsi atas kontrak jutaan dolar AS dengan pemasok layanan kesehatan.

Duterte lalu melarang para menterinya menghadiri forum dengar pendapat di Senat yang digelar untuk menyelidiki kasus tersebut. Sampai saat ini kasus itu belum berlanjut ke proses hukum.

Merujuk kasus itu, para kritikus menuduh impunitas bagi orang kaya dan kelompok penguasa terus berlanjut di Filipina.

Kebebasan berbicara adalah salah satu yang terdampak selama era kepresidenan Duterte. Para pemimpin oposisi dipenjara. Para kritikus juga menjadi sasaran, termasuk Pastor Villanueva, imam Katolik yang berdoa untuk suami Gemma, Patricio. Dia didakwa melakukan penghasutan.

Media massa juga dibungkam. Maria Ressa, pemenang Hadiah Nobel Perdamaian dan salah satu pendiri situs berita Rappler, dihukum pengadilan dalam kasus pencemaran nama baik di dunia maya.

Maria telah membantah tuduhan di pengadilan dan mengajukan banding atas putusan tersebut. Banyak yang percaya kasus yang menimpanya bermotif politik, terutama karena berbagai liputan Rappler terkait kebijakan Duterte.

Maria juga terus-menerus menghadapi rentetan perundungan di media sosial. Dia menuding serangan itu dirancang untuk membungkamnya.

Pada malam saat Duterte resmi meninggalkan kantor kepresidenan, para pejabat Filipina memerintahkan agar situs Rappler ditutup.

Duterte mungkin bukan bagian dari dinasti politik, tetapi jelas bahwa dia telah memulainya. Jabatannya berakhir ketika putrinya, Sara Duterte-Carpio, naik menjadi wakil presiden Filipina.

Sara menang telak pada pemilihan tahun ini dan kemungkinan akan maju pada pemilihan presiden tahun 2028.

Pendukung Duterte bersikeras bahwa catatannya patut dipuji. “Duterte telah meninggalkan begitu banyak warisan, Anda perlu beberapa hari untuk menghitungnya,” kata mantan juru bicaranya, Salvador Panelo.

Panelo menampik temuan dalam penyelidikan Pengadilan Pidana Internasional atas “pembunuhan main hakim sendiri” terhadap orang-orang yang dikaitkan dengan kejahatan narkoba. Dia menuding sindikat narkobalah yang telah saling membunuh.

Namun para pengkritik Duterte menyebut warisan kepreidenannya dirusak oleh kekerasan.

“Ketika Anda berada di pemerintahan, Anda dapat berbuat baik sebagai presiden, hanya dengan duduk di sana, karena banyak hal terjadi,” kata Karen Gomez-Dumpit, mantan kepala komisi hak asasi manusia negara itu.

“Anda memiliki seluruh aparat pemerintah yang siap siaga. Dia bisa melakukannya dengan sangat baik, seandainya dia tidak memiliki kebijakan semacam itu.

“Ini adalah warisan pembunuhan,” katanya.

“Keselamatan dengan mengorbankan hak asasi manusia? Apakah itu keselamatan yang sesungguhnya?”


Artikel ini bersumber dari www.suara.com.

Exit mobile version