Tiba-Tiba Presiden Palestina Bertemu Putin, Ada Apa?

Tiba-Tiba Presiden Palestina Bertemu Putin, Ada Apa?

Tiba-Tiba Presiden Palestina Bertemu Putin, Ada Apa?

korannews.com – Presiden Palestina Mahmoud Abbas bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Ini terjadi di tengah konferensi Membangun Interaksi dan Keyakinan di Asia (CICA) di Astana, Kazakstan.

Pertemuan kedua pemimpin negara ini diyakini dilakukan untuk memperlihatkan ketidakpercayaan terhadap sejumlah negara adi kuasa ,dalam menyelesaikan konflik Palestina dengan Israel. Pertemuan juga menyatakan penghargaan atas peran Rusia.

Abbas menyuarakan dukungannya untuk “kuartet” mediator internasional, yang terdiri dari Rusia, AS, PBB, dan Uni Eropa (UE) untuk permasalahannya dengan Tel Aviv. Namun ia menyebut keraguannya pada AS.

“Kami tidak (bisa) mempercayai Amerika dan Anda tahu posisi kami,” kata Abbas kepada Putin dikutip Al-Jazeera Jumat (14/10/2022).

“Kami tidak mempercayainya, kami tidak bergantung padanya, dan dalam situasi apa pun kami tidak dapat menerima bahwa Amerika adalah satu-satunya pihak dalam menyelesaikan masalah,” tambahnya.

Abbas juga memuji posisi Rusia soal pemukiman Palestina-Israel. Ia menggarisbawahi permasalahan krisis pangan di Palestina serta meminta Moskow untuk mempercepat pengiriman biji-bijian.

“Kami percaya dan tahu bahwa Rusia memiliki posisi yang jelas tentang penyelesaian itu,” tambahnya.

“Kami tahu betul bahwa Rusia membela keadilan, untuk hukum internasional,” ujar Abbas lagi.

Sementara itu, Putin sendiri mengatakan Rusia menginginkan penyelesaian yang adil atas konflik Israel-Palestina. Ini, tegasnya, sejalan dengan resolusi PBB.

“Rusia memiliki sikap berprinsip berdasarkan resolusi fundamental Perserikatan Bangsa-Bangsa dan tetap tidak berubah,” katanya.

Menurutnya, Rusia terus memantau perkembangan di Timur Tengah. Ia mengatakan banyak yang perlu dilakukan untuk meningkatkan hubungan ekonomi antara Moskow dan Ramallah.

Persoalan Palestina dan Israel menjadi salah satu titik panas di Timur Tengah. Rentetan konflik dimulai sejak berdirinya negara Israel tahun 1948.

Sementara itu, akhir September lalu, Perdana Menteri Israel Yair Lapid, mengutarakan menginginkan solusi “dua negara” intuí perdamaian tengan Palestina.

“Sebagian besar orang Israel mendukung visi solusi dua negara,” katanya kala itu.

Ini adalah pertama kalinya dalam beberapa tahun seorang pemimpin Israel secara terbuka menyatakan dukungan untuk solusi itu. Langkah tersebut memungkinkan munculnya sebuah negara Palestina merdeka dengan negara Israel sebagai tetangganya.

Namun sikap ini ternyata mendapat tanggapan sinis pengamat Palestina. Sebagian besar analis politik Palestina mengatakan bahwa mereka tidak yakin dengan pidato Lapid.

Itu diyakini hanyalah aksi politik untuk memikat pemilih Israel-Arab dalam pemilihan umum. Rencananya pemilu dijadwalkan pada 1 November.

“Tidak serius dan tidak menawarkan apa-apa,” kata seorang profesor ilmu politik di Universitas Al-Quds, Ahmad Rafiq Awwad.

Mengutip jejak pendapat terbaru Institut Demokrasi Israel, hanya 31% orang Yahudi Israel yang berpikir bahwa pemerintah baru setelah pemilihan umum harus mencoba untuk memajukan solusi dua negara. Sementara 58% orang Yahudi Israel menentang langkah tersebut.

Pembicaraan damai langsung antara Israel dan Palestina berhenti pada akhir Maret 2014. Itu setelah Israel menolak permintaan Palestina untuk mendirikan negara merdeka bersama Israel tahun 1967.

Exit mobile version