korannews.com – Kasus dugaan pekerja perempuan harus tidur dulu dengan bosnya ( staycation ) agar kontrak kerjanya diperpanjang, mendapat tanggapan dari Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah. Menaker memerintahkan agar kasus pelecehan seksual di tempat kerja diusut tuntas.
Saat ini, kata Menaker, Pengawas Ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan dan Pengawas Ketenagakerjaan Provinsi Jawa Barat masih mendalami kasus dugaan pelecahan seksual di tempat kerja yang terjadi di Bekasi , Jawa Barat.
“Kami masih mendalami kasus ini untuk mencari kemungkinan adanya pelanggaran aspek ketenagakerjaan,” kata Ida Fauziyah dalam siaran pers di Jakarta, Senin, 8 Mei 2023.
Ida menambahkan, kasus ini juga tengah diperiksa oleh Polres Metro Bekasi . “Jadi kepolisian akan menangani aspek pidana, sedangkan Pengawas Ketenagakerjaan akan mendalami pada aspek ketenagakerjaan seperti syarat kerja, hubungan kerja, upah, dan sebagainya,” katanya.
Agar kejadian serupa tidak terulang, Ida meminta semua pihak untuk menjadikan isu pencegahan dan pelindungan terhadap tindak pelecahan seksual sebagai bagian dari Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, maupun Perjanjian Kerja Bersama.
“Sekali lagi komitmen pencegahan ini kita wujudkan secara bersama-sama, di antaranya melalui aturan normatif yang berlaku di perusahaan, hingga membangun budaya kesadaran pencegahan pelecahan seksual di tempat kerja,” ujarnya.
Sebelumnya, pengamat ketenagakerjaan, Timboel Siregar, mengatakan, adanya oknum perusahaan yang mensyaratkan staycation (menginap di hotel) kepada karyawati sebagai syarat agar kontrak kerja diperpanjang, merupakan pemberitaan yang sangat memprihatinkan. Kejadian seperti ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia bagi pekerja perempuan.
“Pekerja kontrak memang selama ini sangat lemah posisi tawarnya dalam hubungan industrial, karena mereka lebih sering diperhadapkan pada penilaian subyektif majikan atau pimpinan yang menentukan diperpanjang atau tidaknya kontrak kerja,” kata Timboel Siregar.
Menurutnya, selama ini banyak pelanggaran hak normatif pekerja kontrak karena memang posisi tawarnya sangat rendah, seperti pelanggaran upah minimum, jaminan sosial, K3, THR, hingga pembayaran kompensasi kontrak kerja ketika kontrak kerja jatuh tempo.
Ketika ada protes tentang pelanggaran-pelanggaran hak normative tersebut, tidak jarang para pekerja diputus kontraknya, tidak diperpanjang lagi sehingga hal ini menjadi ketakutan bagi pekerja. Para pekerja takut menganggur karena diputus hubungan kerjanya.
“Menurut saya tindakan oknum atasan yang mensyaratkan staycation (menginap di hotel) kepada karyawati sebagai syarat agar kontrak kerja diperpanjang merupakan hal yang sangat mungkin terjadi, dan menurut informasi dari beberapa teman hal ini memang terjadi,” ujar Timboel.
Tentunya, lanjut dia, kejadian staycation ini harus dihentikan, termasuk pelanggaran hak-hak normative pekerja lainnya. Seluruh persoalan ini harus segera direspon dan ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian dan pengawas ketenagakerjaan. Pihak polisi harus membuka tabir jahat oknum atasan yang memang memanfaatkan kekuasaannya untuk melakukan pelecehan dan kejahatan seksual terhadap pekerja perempuan.
Pihak kepolisian harus cermat merespons hal ini, jangan sampai polisi akan menghentikan penyelidikan dan penyidikan perbuatan jahat ini karena adanya pengakuan “suka sama suka” dari kedua belah pihak.
“Faktanya pekerja perempuan mengalami tekanan yang sangat kuat karena mereka takut tidak diperpanjang kontraknya. Saya berharap pekerja perempuan berani mengungkap masalah ini, dan polisi segera memproses hukum kepada oknum atasan yang melakukan tindakan ini,” katanya.
Lalu Polisi dan Pengawas Ketenagakerjaan harus menjamin pekerja perempuan yang berani speak up atas masalah staycation ini untuk tetap bisa bekerja di perusahaan. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Polisi harus memberikan perlindungan bagi pekerja perempuan yang berani mengungkap masalah ini.***