korannews.com – Pakar hukum tata negara Denny Indrayana menilai sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang diduga ikut campur menjelang pemilihan presiden (Pilpres) 2024 mendatang sudah sangat jelas terlihat.
Menurut mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu, jika Presiden Jokowi memang berniat menjadikan Pemilu dan Pilpres 2024 sebagai kontestasi politik yang demokratis maka seharusnya bersikap tegas kepada Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko.
Denny mengatakan, Presiden Jokowi tidak mengambil langkah tegas terhadap Moeldoko ketika berkonflik dengan kepengurusan Partai Demokrat yang saat ini dipimpin Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono.
“Menurut saya, kalau teman-teman masih berpikir Pak Jokowi tidak kok melakukan langkah cawe-cawe, sodorkan saja soal Moeldoko ini,” kata Denny Indrayana dalam diskusi di kanal Youtube Paramadina Public Policy Institute pada Selasa (9/5/2023).
“Kalau saya menjadi wartawan, buat teman-teman wartawan yang hadir. Saya titip pertanyaan ke Presiden Jokowi. ‘Bapak Presiden, kenapa Bapak mendiamkan langkah Kepala Staf Presiden Bapak, Jenderal Moeldoko yang coba mengganggu kedaulatan Partai Demokrat?'” sambung Denny.
Denny menyampaikan, jika Presiden Jokowi menjawab pertanyaan itu dengan mengatakan itu adalah hak politik Moeldoko maka hal itu keliru.
Menurut Denny, mengambil hak orang lain secara paksa bukanlah hak politik melainkan pencurian.
“Saya betul-betul ingin bertanya kepada beliau kenapa presiden Jokowi membiarkan. Ini menurutnya, harusnya tidak terbantahkan sebagai bentuk cawe-cawe Presiden Jokowi,” kata Denny.
Denny kemudian melanjutkan kembali, apabila nanti Presiden Jokowi menjawab terkait dengan penetapan KPU maka menurutnya Presiden perlu melihat kembali Undang-Undang Pemilu dan peraturan KPU Nomor 3 tahun 2022.
Menurut Denny yang merupakan pakar hukum tata negara itu, dalam aturan tersebut dikatakan bahwa tahapan pemilu termasuk Pilpres dilaksanakan wajib paling lambat 20 bulan sebelum tanggal pencoblosan.
Dengan demikian, menurutnya apabila tanggal pencoblosannya 14 Februari 2024, maka tahapan pemilu sebenarnya sudah berjalan sejak 14 Juni 2022 atau hampir satu tahun yang lalu.
“Karena itu harusnya Presiden tidak bisa mengatakan baru akan diam setelah penetapan pasangan calon. Itu sama saja beliau tidak paham bahwa tahapan pilpres sudah berjalan sudah hampir satu tahun yang lalu,” kata Denny.
“Apapun, kalau presiden kemudian ikut menentukan strategi koalisi, ikut menentukan strategi pasangan calon itu sudah keluar dari prinsip presiden sebagai wasit pilpres yang harusnya adil dan netral,” ujar Denny.
Dalam beberapa kesempatan, Presiden Joko Widodo menyampaikan puja-puji kepada Menteri Pertahanan sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, yang diusung menjadi bakal capres oleh partainya dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Sementara itu, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) mengusung Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo sebagai bakal capres 2024. Sikap Jokowi kepada kedua kandidat itu berbeda dengan perlakuannya kepada Anies Baswedan.
Anies diusung oleh Partai Nasdem, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang tergabung dalam Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) sebagai bakal capres.
Sejak mengusung Anies sebagai bakal capres, hubungan antara Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh dan Jokowi terlihat merenggang. Jokowi bahkan tidak mengundang Paloh ke Istana bersama-sama dengan pimpinan partai koalisi pemerintahan beberapa waktu lalu.