korannews.com – Data yang tidak terstandardisasi dan tidak terintegrasi menjadi salah satu tantangan dalam sistem kesehatan di Indonesia yang harus dibenahi.
“Ada 270 juta masyarakat Indonesia yang punya data medis dalam bentuk digital dan kertas,” kata Chief Data Officer Digital Transformasion Office Kementerian Kesehatan Dandy Masyaril Handoko dalam webinar “Mewujudkan Keterwakilan Data Kelompok Rentan Berkeadilan lewat Tata Kelola Data Kesehatan” di Jakarta, Jumat.
Kemudian ada lebih dari 60 ribu fasilitas kesehatan, 10 ribu puskesmas, dan 3.000 rumah sakit yang memproduksi data kesehatan, baik secara digital maupun kertas.
Data pasien yang tidak terintegrasi antar rumah sakit membuat pasien harus kembali memasukkan data riwayat mereka saat mendaftar ke rumah sakit lain.
“Saat ini kalau kita pergi dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain, puskesmas satu ke puskesmas lain, kita harus kembali mendaftarkan nama, alamat, alergi kita, dan itu tidak efektif,” kata Dandy.
Pihaknya juga mencatat lebih dari 400 aplikasi yang dimiliki pemerintah pusat dan daerah.
“Implikasinya, ini jadi beban bagi nakes dalam melakukan pelaporan,” kata Dandy Masyaril Handoko.
Bahkan satu puskesmas saja bisa memiliki puluhan aplikasi yang berbeda.
“Kami pernah survei juga ke puskesmas, seorang bidan dalam satu hari melakukan aktivitas 8 jam, ternyata 3 jam itu untuk aktivitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat, 5 jam lagi dihabiskan untuk membuat laporan karena harus memasukkan data ke sistem informasi puskesmas,” katanya.*