Bawaslu Sebut Perlu Ada Aturan Khusus soal Politik Identitas, Lagi Dibahas KPU

Bawaslu Sebut Perlu Ada Aturan Khusus soal Politik Identitas, Lagi Dibahas KPU

korannews.com – Ketua Badan Pengawas Pemilu ( Bawaslu ) Rahmat Bagja mengakui bahwa diperlukan peraturan khusus untuk mengatur politik identitas . Bagja mengatakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sedang membahas aturan tersebut.

Adapun, Bagja mengatakan aturan khusus tersebut juga berdasarkan dorongan dari Bawaslu. Hanya, Bagja belum menyebutkan aturan khusus apa yang dimaksud.

“Perlu. Di KPU, katanya, lagi dibicarakan. Kami sudah dorong KPU dan sudah ada pembicaraan tiga kali di KPU,” ujar Bagja saat ditemui di Hotel Novotel, Tangerang, Selasa (28/2/2023).

Bagja menjelaskan, politik identitas itu pasti ada karena sifatnya merupakan bawaan.

Akan tetapi, apabila politik identitas diterapkan dalam politik praktis, maka akan timbul masalah.

“Jadi di kampanye sudah dilarang. Oleh sebab itu, kalau kampanye larang, maka sekarang upaya pencegahan supaya (politik identitas) enggak terjadi di kampanye,” jelasnya.

Sementara itu, kata Bagja, Bawaslu juga menemui Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) hari ini.

Menurut Bagja, politik identitas menjadi salah satu pembahasan pokok yang terjadi di dalam pertemuan antara Bawaslu dan PBNU ini.

Dia mengklaim PBNU mendorong Bawaslu untuk melawan politik identitas.

“Tadi membicarakan itu dengan PBNU, dan PBNU mendukung Bawaslu untuk melakukan perlawanan terhadap penggunaan politik identitas dalam politik praktis,” imbuh Bagja.

Sebelumnya, Deputi Bidang Kesatuan Bangsa Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) Janedri M Gaffar menekankan, hingga saat ini, belum ada aturan secara khusus yang mengatur mengenai politik identitas.

Janedri meminta masyarakat agar menghindari yang namanya politik identitas.

Hal tersebut Janedri sampaikan saat menghadiri acara Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) bertajuk Rapat Koordinasi Nasional Pemerintah Daerah dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di Hotel Novotel, Tangerang, Selasa (28/2/2023).

“Pengaturan secara khusus tentang politik identitas memang sampai saat ini belum ada. Itu yang kita perlu pahami bersama,” ujar Janedri.

“Nah, politik identitas itu boleh atau enggak? Itu yang harus kita hindari bersama. Politik identitas itu berbeda dengan identitas politik,” sambungnya.

Janedri memaparkan, masyarakat Indonesia memiliki banyak preferensi politik, di mana salah satunya adalah agama.

Jika seseorang beragama Islam, maka biasanya orang itu memilih identitas politiknya sebagai Islam.

Hal serupa bisa terjadi apabila orang itu memiliki agama atau suku yang berbeda dalam menetapkan preferensi politik masing-masing.

“Jadi identitas politik itu beda dengan politik identitas. Preferensi politik menjadi hak individu masyarakat. Preferensi politik masyarakat berdasarkan identitas apakah itu agama, suku, bahasa, daerah, itu menjadi hak individu bapak/ibu semua,” tutur Janedri.

Kemudian, Janedri mewanti-wanti apabila preferensi politik dijadikan komoditas politik dengan menggunakan black campaign dan negative campaign.

Janedri kembali menegaskan hal-hal seperti itulah yang perlu dihindari bersama-sama.

Menurut dia, politik identitas itu berbahaya bagi persatuan dan kesatuan Indonesia.

“Sekalian saya menjawab tentang politik identitas. Ini bahaya bagi persatuan dan kesatuan kita sebagai bangsa,” katanya.

Sementara itu, kata Janedri, politisasi agama juga perlu diwaspadai seperti politik identitas.

Namun, yang menjadi pertanyaan, apakah politik identitas dan politisasi agama dilarang di Indonesia, Janedri mengakui kalau belum ada aturan yang jelas mengenai itu.

“Sama-sama tidak ada pengaturannya secara jelas, tegas di dalam UU Pemilu maupun UU Pilkada. Tapi terkait money politics, black, dan negative campaign ada aturannya. Itu juga harus kita hindari,” papar Janedri.

Maka dari itu, Janedri meminta kepada semua pihak untuk tidak mempolitisasi agama untuk memperoleh dukungan dalam kontestasi pemilu.

Mengingat, dalam waktu dekat Pemilu 2024 akan dilaksanakan.

“Jangan agama dipolitisasi untuk mengapitalisasi perolehan dukungan suara dalam pemilu dan pilkada, apalagi dengan menggunakan cara-cara negative campaign, black campaign, rusak negara ini bapak/ibu,” imbuhnya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

error: Content is protected !!