korannews.com – Megaproyek Forest City senilai US$100 miliar atau setara Rp1.564 triliun seharusnya menjadi ‘surga hidup’. Namun kawasan mewah di selatan negara bagian Johor, Malaysia itu malah berubah menjadi kota hantu.
Dalam enam tahun pengembangan, area yang berada tepat di utara Singapura, yang penuh dengan gedung pencakar langit, malah kosong, sepi, dan tak berpenghuni. Apa yang terjadi?Berikut fakta-fakta terkait proyek gagal Forest City, dihimpun dari berbagai sumber.
Forest City dibangun dengan luas mencapai 1.740 hektar. Ini empat kali ukuran negara kota Monaco.
Sekitar 700.000 orang pada awalnya diperkirakan akan tinggal di kota buatan yang dikembangkan oleh Country Garden, pengembang properti terbesar di China. Menurut laporan Foreign Policy tahun 2019, hanya sekitar 500 orang yang tinggal di area tersebut.
Seorang ahli yang menolak disebutkan namanya karena alasan keamanan mengatakan bahwa saat ini populasi area tersebut telah berkembang menjadi beberapa ribu. Tetapi masih kurang dari 5% dari perkiraan jumlah penduduk.
Country Garden sempat mengatakan kepada Insider bahwa hingga pertengahan tahun 2022 telah terjual lebih dari 20.000 unit hunian. Tidak jelas berapa banyak unit yang telah dibangun di Forest City.
Harga dalam pengembangan telah melonjak dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2017, harga apartemen di Forest City mulai dari 740.864 ringgit Malaysia atau setara Rp2,6 miliar.
Saat ini, kondominium apartemen dalam pengembangan ritel sebanyak 5 juta ringgit Malaysia (Rp17,8 miliar). Sebagai perbandingan, harga jual rata-rata properti di Johor Bahru, tempat Forest City berada, adalah 619.633 ringgit Malaysia (Rp2,2 miliar).
Sebuah laporan menyebut Forest City melakukan pembangunan di mana-mana. Seperti adanya lusinan gedung apartemen mewah, galeri penjualan, mal, sekolah internasional, dan dua resor.
Namun laporan tersebut tidak melihat adanya tanda-tanda kehidupan orang. Bahkan di area perumahan bernama Kompleks Apartemen Kylin yang cukup besar untuk menampung ratusan orang, tapi jalanan menuju ke sana kosong dan hanya terlihat setidaknya satu atau dua mobil.
Seorang anggota staf yang menolak disebutkan namanya menyebut hanya ada sekitar 20 orang tinggal di kompleks itu. Meski begitu, banyak bangunan yang terus dirawat oleh pekerja dan petugas kebersihan, menurut laporan tahun 2022 oleh Malaysia Now.
Toko-toko yang ada di kompleks tersebut juga tampak tutup, kosong, atau terbengkalai. Seorang anggota staf memberi tahu bahwa toko-toko telah ditutup atau dikosongkan selama lebih dari dua tahun dan banyak ruang ritel yang digunakan untuk penyimpanan.
Hukum Syariah Malaysia melarang Muslim Malaysia minum alkohol dan pedagang menjual alkohol kepada Muslim. Negara ini memiliki pajak alkohol tertinggi ketiga di dunia, setelah Norwegia dan Singapura.
Namun Forest City, yang berada di Zona Ekonomi Khusus Iskandar Malaysia, diberikan status zona bebas bea dan membuat barang-barang seperti alkohol dan rokok menjadi sangat murah.
Toko bebas bea di Forest City juga menjadi satu-satunya lokasi yang penuh dengan orang. Mereka biasanya berbondong-bondong membeli alkohol dan rokok.
Orang diperbolehkan membeli hingga satu peti bir, menurut laporan tahun 2021 yang mengutip ketua Malaysia Crime Watch R. Sri Sanjeevan. Forest City memiliki pos pemeriksaan yang memastikan barang bebas bea tidak diselundupkan keluar.
Tidak heran banyak masyarakat dari negara bagian lain di Malaysia yang berkunjung ke ‘kota mati’ ini. Seorang tamu mengatakan orang hanya mengunjungi Forest City untuk minum alkohol.
“Tanpa bebas bea, tidak akan ada orang,” katanya.
Namun masalah Forest City rupanya lebih dalam dari sekadar kurangnya minat pembeli dan pengunjung. Meskipun mengklaim sebagai “surga yang hidup” dan “kota yang hijau dan futuristik”, beberapa ahli menggambarkan area mewah ini sebagai bom waktu ekologis.
Forest City sebagian dibangun di atas tanah reklamasi dari Selat Johor. Sekitar 163 juta meter kubik pasir dibuang ke laut untuk membangun kota. Beberapa ahli mengatakan cepatnya konstruksi ditambah dengan reklamasi tanah merupakan kombinasi yang berbahaya.
“Terlepas dari inovasi teknologi yang digunakan untuk merebut kembali dan membangun, pasir yang dibuang di dasar laut lumpur membutuhkan lebih dari waktu yang dipublikasikan untuk mengendap,” kata Serina Rahman, seorang ilmuwan dan peneliti yang berbasis di Malaysia, dalam bukunya tahun 2017 berjudul Johor’s Forest City Faces Critical Challenges.
“Retakan telah muncul di beberapa bangunan perkebunan dan bagian jalan telah tenggelam ke dalam tanah,” tulisnya.
Karena dibangun di atas tanah reklamasi dari Selat Johor, proyek Forest City jadi membebankan nelayan yang tinggal di desa sekitar area tersebut. Hal tersebut disampaikan penduduk lokal dan para ahli.
Serina, ilmuwan yang penelitiannya berfokus pada efek Forest City pada desa nelayan, menyebut pola reklamasi lahan di Selat Johor, yang hanya sebagian yang dapat dikaitkan dengan Forest City, juga menyebabkan penurunan tajam jumlah ikan yang dapat ditangkap oleh nelayan lokal.
“Nelayan sulit mendapatkan 20 kilogram saat melaut,” kata Serina.
“Kapalnya kecil dan karena proyek reklamasi, mereka harus pergi lebih jauh ke laut, membuat pekerjaan mereka semakin berbahaya.”
Seorang penduduk setempat menyebut para nelayan akan mati sebelum mereka menangkap ikan.
Sementara Country Garden menghabiskan US$25 juta sebagai kompensasi kepada sekitar 250 nelayan atas kerugian tangkapan mereka, menurut laporan tahun 2018 dari situs lingkungan Mongabay.