Subvarian Omicron BA.2.75 Terdeteksi di Indonesia

Subvarian Omicron BA.2.75 Terdeteksi di Indonesia

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan, pihaknya telah mendeteksi keberadaan kasus COVID-19 yang disebabkan oleh subvarian omicron BA.2.75 di Indonesia dalam telekonferensi pers di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (18/7).

“Ini juga sudah masuk di Indonesia, dimana satu ada di Bali, karena kedatangan luar negeri, dan dua ada di Jakarta. Kemungkinan besar transmisi lokal sedang kita cari sumbernya darimana,” katanya.

Meski dibayangi dengan lonjakan kasus akibat subvarian tersebut, menurut Budi, sampai detik ini kondisi pandemi di Indonesia diklaim masih cukup baik. Hal ini, katanya, terlihat dari level transmisi komunitas berdasarkan standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang berada pada level satu secara nasional.

Selain itu, katanya, tingkat perawatan di rumah sakit juga dan tingkat kematian akibat virus ini juga terpantau masih di bawah standar WHO. “Perlu kami sampaikan secara persentase, yang meninggal paling tinggi adalah orang yang belum divaksinasi, atau yang divaksin baru satu kali. Sedangkan yang sudah divaksin dua kali, jauh menurun persentase fatality-nya, kalau terkena, dan yang di-booster sudah sangat menurun persentase yang wafat,” tuturnya.

Subvarian Omicron BA.2.75 Terdeteksi di Indonesia

Pemerintah Terus Antisipasi Subvarian COVID-19. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin bersama Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (kanan) di Istana Merdeka, Jakarta, 18 Juli 2022. (Twitter/@setkabgoid)

Sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo, katanya, pemerintah akan mempercepat laju vaksinasi COVID-19 dosis ketiga atau booster. Untuk menggenjot ini, beberapa kegiatan yang melibatkan orang banyak akan diwajibkan untuk memiliki status vaksinasi booster. Menurutnya, hal ini penting guna melindungi masyarakat agar jangan sampai terjadi keparahan atau bahkan meninggal ketika terinfeksi virus corona.

Kondisi Pandemi COVID-19 di Indonesia

Dalam kesempatan yang sama, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan beberapa negara saat ini masih mengalami lonjakan kasus COVID-19 akibat subvarian omicron. Berdasarkan pergerakan rata-rata kasus selama tujuh hari (seven days moving average) Amerika Serikat tercatat memiliki kasus 134 ribu, Australia 40 ribu, India 18 ribu, Perancis 90 ribu, Singapura 9 ribu, dan Indonesia berada pada level 3.240 kasus.

Selain itu Airlangga juga melaporkan tingkat reproduksi efektif (RT) relatif melandai dalam tiga minggu terakhir, yakni turun dari 1,27 ke 1,26-1,24. Semua pulau, ujarnya, rata-rata memiliki RT di atas satu.

“Penambahan kasus yang tertinggi masih di Jawa-Bali yang merepresentasikan hampir 95 persen (kasus). Kemudian, kita lihat beberapa untuk di luar Jawa-Bali itu kasus relatif masih rendah dan landai, yang aktif masih di Sumatera Utara, kalsel, Kaltim, Sumsel, Sulsel dan Kalteng,” ungkap Airlangga.

Presiden Jokowi minta percepatan vaksinasi booster bagi masyarakat dan jemaah Haji, saat memimpin Ratas mengenai PPKM, di Istana Merdeka, Jakarta, Senin 18 Juli 2022. (Foto: Humas Rahmat)

Presiden Jokowi minta percepatan vaksinasi booster bagi masyarakat dan jemaah Haji, saat memimpin Ratas mengenai PPKM, di Istana Merdeka, Jakarta, Senin 18 Juli 2022. (Foto: Humas Rahmat)

Pemerintah pun terus menggenjot capaian vaksinasi COVID-19. Berdasarkan laporan di lapangan, capaian vaksinasi dosis pertama di luar Jawa-Bali yang masih di bawah 70 persen adalah Papua dan Papua Barat. Sebanyak sepuluh provinsi tercatat masih di bawah 70 persen untuk capaian vaksinasi dosis kedua, sementara untuk dosis ketiga atau booster, masih ada sekitar 28 provinsi yang capaian vaksinasinya di bawah 30 persen.

Konsistensi Kebijakan

Ahli Epidemiologi dari Universitas Indonesia Pandu Riono menyayangkan ketidakkonsistenan pemerintah dalam menerapkan kebijakan penanganan pandemi COVID-19 di tanah air.

Epidemiolog Universitas Indonsia, Pandu Riono. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Epidemiolog Universitas Indonsia, Pandu Riono. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Hal ini terkait dengan perubahan kebijakan wajib booster COVID-19 yang telah dicabut sebelumnya, namun kemudian diberlakukan kembali karena adanya peningkatan kasus yang disebabkan oleh subvarian omicron BA.4 dan BA.5.

Menurut Pande, sudah seharusnya sejak pemerintah mengerti bahwa corona adalah sejenis virus yang terus bermutasi. Karena itu, penguatan imunitas dalam hal ini vaksinasi dan edukasi terkait penerapan protokol kesehatan harus selalu digaungkan kepada masyarakat.

“Kalau kita mau sustain upayakan vaksinasinya dan edukasinya tidak boleh kendor. Makanya sekarang panik lagi, diubah lagi pelaku perjalanan harus pakai booster. Sudah bagus waktu kemarin mudik lebaran harus wajib booster, kenapa dilonggarkan? Gara-gara kasus sudah menurun, atau di banyak negara sudah banyak yang gak pakai masker? Tidak usah ikut-ikutan. Kan kita tidak mewajibkan, tapi mengedukasi terus, dan masyarakat sudah senang pakai makser, anjurkan saja terus. Itu yang harusnya pemerintah konsisten, dan masyarakat harus diingatkan terus,” ungkapnya kepada VOA.

Menurutnya, kedislipinan masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan dan imunitas baik dari infeksi alamiah maupun vaksinasi menjadi salah satu faktor rendahnya kenaikan kasus COVID-19 di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain. [gi/ab]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Exit mobile version