Sebuah tim dari Universitas Cenderawasih, Papua telah menyelesaikan naskah akademik pembentukan KKR. Naskah itu sudah diserahkan kepada Gubernur Papua, Lukas Enembe, 14 Juni 2022 lalu untuk ditindaklanjuti.
Tentu saja, proses pembentukan KKR ini menuai pro dan kontra, terutama dari keluarga korban pelanggaran HAM di Papua. Namun, menurut Guru Besar Fakultas Hukum, Uncen, Prof Dr Melkias Hetharia langkah ini penting tetap menjadi pilihan.
“KKR ini sebagai salah satu alternatif untuk penyelesaian pelanggaran HAM, dengan cara non-yudisial. Khususnya untuk KKR ini apabila tidak ada alat bukti yang cukup untuk itu, maka cara terbaik untuk penyelesaian pelangaran HAM itu paling penting dilakuan oleh KKR,” kata Melkias, dalam diskusi tantangan KKR yang diselenggarakan Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP), Jumat (29/7).
KKR diperlukan, menurut Melkias, karena selama ini proses hukum dalam kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua, tidak berjalan. Karena itulah, perlu dilakukan upaya lain di luar proses hukum.
“Kenapa sampai hari ini Komnas HAM sulit sekali membawa kasus-kasus pelanggaran HAM ini ke proses hukum positif di pengadilan? Karena belum ada alat bukti, itu yang pertama. Yang kedua, ada intervensi politik,” lanjutnya.
Salah satu persoalannya adalah, ketika upaya penyelesaian pelanggaran HAM di Papua membutuhkan dasar hukum berupa undang-undang, maka semua tergantung pada DPR. Intervensi politik bisa dipastikan akan terjadi selama proses itu. Karena itulah, KKR bisa ditempuh, dengan mengandalkan Peraturan Presiden saja, sehingga lepas dari pengaruh politik di DPR.
KKR memiliki dua tugas utama, kata Melkias. Pertama adalah melakukan klarifikasi sejarah di satu pihak, dan merumuskan serta menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi. Di dalamnya bekerja sub komisi kompensasi, sub komisi amnesty, dan sub komisi penyelidikan. Tugas kedua adalah klarifikasi sejarah Papua sendiri.
“Tentu, KKR akan difokuskan untuk kepentingan-kepentingan korban, itu fokusnya. Bukan untuk kepentingan negara. Tetapi memang, pada akhirnya akan membawa dampaknya kesana. Apabila kepentingan korban terselesaikan, maka rekonsiliasi akan mewujudkan kepentingan negara,” ucap Melkias.
KKR di Tengah Konflik
Aktivis HAM Papua, Rosa Moiwend, meminta ada kejelasan terkait konsep KKR sebelum pilihan penyelesaian kasus pelanggaran HAM ini diambil.
“Mungkin saja bisa, tetapi kan harus jelas dulu, mekanismenya seperti apa. Sedangkan kita mau buat KKR, tetapi konflik saja belum terselesaikan. Negara kalau memang punya niat baik untuk menyelesaikan persoalan-persoalan HAM di Papua, berarti harus ada masa jeda, dimana droping pasukan dihentikan dulu, supaya korban pelanggaran HAM tidak terus berjatuhan,” kata Rosa.
Rosa juga mempertanyakan, kasus pelanggaran HAM yang mana yang akan diselesaikan melalui mekansmie KKR ini. Sementara, di sisi lain konflik terus terjadi dan menimbulkan pelanggaran HAM baru, tanpa ada kebijakan dan keinginan negara untuk menghentikan konflik.
“Jadi, saya sendiri bingung dengan konsep KKR yang sedang didorong ini, kalau memang itu menjadi alternatif untuk menyelesaikan pelanggaran HAM, berarti kan harus ada kepastian dari negara. Ini tidak ada kepastian, droping pasukan terus berlangsung, pengungsi internal di Nduga, Intan Jaya, Puncak, Kiwirok dan lain-lain masih belum pulang ke kampungnya dengan aman. Lalu, kita mau selesaikan yang mana,” tegasnya.
Berbicara KKR, lanjut Rosa, bermakna mencari kebenaran dan melakukan rekonsilisasi. Karena itu, harus ditemukan kebenaran terlebih dahulu, baru bisa dilakukan rekonsiliasi.
Diabaikan Pembentukannya
Sementara Fien Yarangga dari Jaringan HAM Perempuan Papua menggarisbawahi bahwa KKR hanya satu dari tiga mandat dalam UU Otsus terkait penyelesaian kasus pelanggaran HAM.
“Di dalam pasal-pasal dalam UU Otsus itu, pada awal itu memang ada pasal yang memandatkan kepada negara untuk pembentukan tiga lembaga, Komisi HAM Papua, Pengadilan HAM Papua dan KKR. Tiga lembaga itu tidak terbentuk sampai Otsus mau jilid dua ini,” ujarnya.
Begitu lama rakyat menanti pembentukan lembaga ini, berpengaruh pada tingkat kepercayaan masyarakat, terkait kerangka yang dibangun negara dalam penyelesaian kasus HAM Papua.
Fien menegaskan, jika pemerintah pusat ingin memastikan kewajibannya secara hukum dengan baik, maka kebijakan pemerintah pusat tidak boleh bertolak belakang dengan fakta yang terjadi di Papua saat ini.
“Misalnya ada pertanyaan. Kita sedang bicara KKR, tetapi pendropan tentara terus berjalan. Tidak ada kemauan pemerintah pusat untuk memhentikan itu. Pemerintah pusat punya alasan-alasan politik untuk menerapkan keamanan militer atau pendekatan militer di Papua,” tambahnya.
“Kelompok perempuan Papua, berjuang untuk pemulihan dan pemenuhan hak korban, sudah berjalan dari 2010. Sampai hari ini tidak ada sesuatu yang mendasar sekali dari negara, apalagi pemerintah provinsi,” ujar Fien lagi.
Fien juga mengajukan sebuah pertanyaan, yang menjadi tantangan besar bagi kerja KKR di tanah Papua ke depan.
“Apakah konsep KKR ini, bisa didiskusikan dengan teman-teman, atau orang Papua yang keinginannya berlawanan dengan cara-cara penyelesaian yang dibangun oleh negara,” tegasnya bernada menggugat. [ns/ah]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.