Pengiriman Pasukan Tempur ke Papua Dinilai Tak Perlu

Pengiriman Pasukan Tempur ke Papua Dinilai Tak Perlu

Konflik di Aceh berhenti, begitu status provinsi itu sebagai DOM dicabut pemerintah. Namun, kondisi berbeda dialami Papua. Meski status DOM dilepaskan pada 1998, konflik justru semakin meningkat dari tahun ke tahun. Dalam diskusi di Jakarta, Selasa (30/8), lembaga Imparsial mempublikasikan laporan, yang antara lain mencatat pengiriman pasukan TNI dan Polri ke Papua, seperti dipaparkan peneliti di lembaga tersebut, Hussein Ahmad.

“Kami memantau, sejak Januari 2021 hingga Agustus 2022 setidaknya 13 kali pengiriman pasukan TNI dan Polri dengan kualifikasi tempur, jumlahnya kurang lebih 3.657 prajurit. Dengan komposisi, 3.000 prajurit TNI dan 657 anggota Polri, dalam hal ini adalah Brimob. Seluruh pasukan yang dikirim, merupakan kualifikasi tempur,” papar Hussein.

Hussein mengatakan, selama ini pemerintah berdalih pengiriman pasukan ke Papua juga memiliki tujuan non perang, seperti pembangunan jalan Trans Papua, sekolah atau proyek lain. Namun, setidaknya sepanjang tahun ini, Imparsial tidak menemukan pengiriman pasukan selain yang berkualifikasi tempur.

Pengiriman Pasukan Tempur ke Papua Dinilai Tak Perlu

Sejumlah tentara Indonesia yang dikerahkan untuk mengamankan malam Idulfitri di Timika, Papua, 12 Mei 2021. (Foto: Sevianto Pakiding/AFP)

Tujuan pengiriman pasukan TNI ini antara lain adalah pengamanan perbatasan (satgas Pamtas), komunikasi sosial dan pembinaan teritorial (Satgas Organik), dan pengamamanan daerah rawan (Pam Rahwan). Sedangkan dari unsur Polri, pengiriman ditujukan untuk kendali operasi (BKO) dan pengamanan obyek vital (Pam Obvit).

“Pengiriman pasukan yang tidak sedikit ini merupakan anomali, ini tidak terjadi di tempat lain. Karena baik Wamena maupun Jakarta itu statusnya sama. Bukan daerah Operasi Militer. Artinya statusnya adalah sama. Akan tetapi kita kan enggak pernah lihat ada pengiriman pasukan ke Medan, atau ke Manado,” lanjut Hussein.

Hussein juga menekankan, pengiriman pasukan ke Papua itu bermasalah secara hukum. Undang-Undang TNI menyebut, baik untuk operasi militer untuk perang maupun operasi militer selain perang, pengiriman pasukan harus dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Keputusan politik negara, harus dibuat bersama dengan DPR.

Tentara dan polisi duduk di atas mobil saat berpatroli di Wamena, Papua, 9 Oktober 2019. (Foto: Antara/M.Risyal Hidayat via REUTERS)

Tentara dan polisi duduk di atas mobil saat berpatroli di Wamena, Papua, 9 Oktober 2019. (Foto: Antara/M.Risyal Hidayat via REUTERS)

“Kebijakan dan keputusan politik negara ini kapan dibuat? Menurut riset kami, tidak pernah ada kebijakan dan keputusan politik negara terkait pengiriman pasukan ke Papua,” ujarnya.

Imparsial juga mencatat sejak awal 2021 hingga Juli 2022, terjadi sekurangnya 63 konflik bersenjata. Korban jiwa yang didata mencapai 61 orang, dengan 37 masyarakat sipil, 21 anggota TNI/Polri dan delapan anggota KKB. Korban masyarakay sipil dominan, setidaknya karena empat faktor. Pertama, keyakinan, bahwa korban sipil dalam konflik tidak terhindarkan. Kedua, berbaurnya KKB dengan masyarakat. Ketiga, ada stigma masyarakat adalah anggota KKB, dan keempat kecurigaan berlebih terhadap pendatang.

Banyak Faktor Pendukung

Latifah Anum Siregar, Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua. (Foto: VOA/Nurhadi)

Latifah Anum Siregar, Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua. (Foto: VOA/Nurhadi)

Penambahan pasukan memang menjadi faktor tidak selesainya konflik Papua, tetapi di sisi lain, menurut Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP), Latifah Anum Siregar, terjadi juga penambahan personel di kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB).

“Ada penambahan dan pengembangan struktur TPNPB. Dua tahun lalu, kalau kita mendengar konflik di Nduga, itu selalu terkait dengan satu nama, orang selalu menyebut Egianus Kogoya. Tetapi sekarang, di bawah Egianus Kogoya sendiri, begitu banyak batalyon-batalyon yang dibangun, yang dibentuk,” ujar Anum.

Tidak mengherankan, jika nama-nama baru muncul ketika aksi kekerasan bersenjata terjadi baik di Nduga maupun di Intan Jaya.

“Misalnya ada Undius Kogoya, ada Tendius Gwijangge, ada Aibon Kogoya. Ada nama-nama baru yang merupakan penambahan, jadi ada pengembangan struktur juga,” ujarnya.

Faktor lain adalah masuknya senjata dan amunisi ilegal ke Papua. ALDP telah menyusun laporan terkait bisnis senjata gelap di Papua, dan mempublikasikannya beberapa waktu lalu. Namun, menurut Anum, hanya sekitar 30-50 persen kasus jual beli senjata ilegal yang diproses secara hukum.

“Jadi ada sekitar 50 persen yang sebenanerya tidak terendus oleh aparat kepolisian. Jadi, kita bisa bayangkan, begitu senjata senjata dan juga ribuan amunisi yang ada di Papua,” tambah Anum.

Tentara berpatroli di jalan di Timika di Papua, 18 Juli 2009. (Foto: REUTERS/Muhammad Yamin)

Tentara berpatroli di jalan di Timika di Papua, 18 Juli 2009. (Foto: REUTERS/Muhammad Yamin)

Perang di lapangan juga dilengkapi dengan perang narasi di media sosial, antara TNI/Polri dan TPNPB. Saling klaim dan saling tuduh kerap terjadi diantara kedua belah pihak. Semua faktor ini membuat konflik bersenjata makin luas cakupan wilayahnya. Anum mencatat, daerah seperti Pegunungan Bintang yang sebelumnya tenang, kini mulai diwarnai konflik bersenjata juga.

Lingkaran Kekerasan

Konflik bersenjata di Papua akan terus terjadi, selama pendekatan militeristik diterapkan. Kasus Egianus Kogoyo menjadi salah satu bukti, bagaimana kekerasan melahirkan kekerasan baru.

Ambrosius Mulait dari Aliansi Mahasiswa Pegunungan Tengah se Indonesia menceritakan, Egianus yang kini memimpin TPN-OPM di kawasan Nduga, adalah korban operasi militer di masa lalu. Orang tuanya, meninggal dalam konflik selama pelaksanaan operasi Mapenduma sekitar tahun 1996, di Nduga.

“Egianus, kenapa dia pegang senjata, lahir dari pembalasan dendam pembunuhan orang tuanya. Jadi Egianus hari ini pegang senjata dan melakukan perlawanan. Kenapa? imajinasi untuk melakukan perlawanan atau pembalasan dendam itu muncul karena pendekatan militer masih dilakukan,” kata Ambrosius.

Operasi militer di Papua awalnya menyisir daerah pesisir, dan baru masuk ke wilayah pegunungan sekitar tahun 1977. Di Nduga, konflik memuncak sejak peristiwa pembunuhan pekerja proyak jalan Trans Papua pada 2018. Konflik meluas hingga ke Yahukimo, Intan Jaya, Puncak, Pegunungan Bintang dan Maybrat.

“Di Nduga, sejak 2019 itu 37 ribu orang yang mengungsi, kemudian 241 orang tewas. Dari 37 ribu ini mengungsi ke Wamena, Lanny Jaya, Timika dan bahkan Jayapura. Sampai saat ini, dari 2018-2022, situasi Nduga tidak kondusif. Berita terakhir ada 10 orang menjadi korban,” tambah Ambrosius, merujuk pada pembunuhan warga sipil yang belum lama terjadi.

Di Papua, lanjut dia, rasa saling curiga warga asli dengan pendatang kian meruncing. Saat ini, kecurigaan kepada sesama orang Papua juga timbul, karena dicurigai ada sebagian yang menjadi mata-mata militer.

“Sehingga sangat sulit, konflik ini tidak hanya struktural dengan sipil, tetapi sipil dengan sipil juga sedang terjadi,” ujarnya.

Anak-anak pengungsi Nduga yang terlantar pendidikannya. (Foto: Humas DPR Papua)

Anak-anak pengungsi Nduga yang terlantar pendidikannya. (Foto: Humas DPR Papua)

Anak-anak juga turut menjadi korban. Sekurangnya sembilan anak dari Nduga meninggal karena tidak memperoleh perawatan kesehatan memadai. Sementara ribuan yang lain kehilangan kesempatan sekolah. Persoalan administratif juga menghambat layanan kesehatan, karena warga Nduga sering ditolak berobat di rumah sakit daerah, dimana mereka mengungsi saat ini.

Darurat Tanpa Batas

Akademisi Universitas Paramadina, Bhatara Ibnu Reza, mengingatkan Presiden Soekarno mengumumkan penghapusan keadaan darurat pada 1 Mei 1963, ketika Papua bergabung kembali dengan Indonesia. Namun justru sejak itu, kondisi Papua selalu diwarnai konflik.

“Sejak 1 Mei 1963 sampai sekarang, indonesia memperlakukan Papua itu seolah-olah keadaan darurat permanen. Tidak ada declare, kan, soal daerah operasi militer,” kata Bhatara.

Tidak pernah sekalipun pemerintah Indonesia mendeklarasikan Papua sebagai daerah operasi militer. Namun Papua selalu mengalami berbagai pembatasan, bahkan akses bagi jurnalis asing ditutup sampai saat ini.

“Kalau kita berkaca ke Aceh, pada masa darurat militer, itu Presiden Megawati mendeklarasikan menyatakan keadaan bahaya dengan tingkatan darurat militer di seluruh wilayah Provinsi Aceh, dan itu enam bulan karena enggak ada darurat permanen, selalu ada batasnya,” tandasnya.

“Saya sebagai salah satu anggota Forum Akademisi Papua Damai tidak bosan-bosannya menyatakan, berdialoglah. Ambil cara dengan akal sehat, toh ketika kita dengan GAM, kita berdialog,” kata Bhatara lagi. [ns/ab]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Exit mobile version