korannews.com – Pengamat menilai sulit bagi Indonesia untuk mendamaikan Rusia dan Ukraina karena kunci dari hal itu ada di Rusia.
Tanpa langkah nyata, pernyataan Indonesia untuk menjadi mediator kedua negara itu dinilai hanya basa-basi politik.
Dalam pertemuan dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky di sela-sela KTT G7 di Hiroshima , Jepang, pada akhir pekan lalu, Presiden Joko Widodo menegaskan komitmen Indonesia untuk terus mendukung upaya memcapai perdamaian.
Jokowi bahkan menyampaikan kesiapan Indonesia menjadi mediator antara Ukraina dan Rusia.
Pengamat hubungan internasional di Universitas Diponegoro, Mohamad Rosyidin mengatakan Indonesia memiliki peluang untuk memainkan peran itu.
Terbukti dengan lawatan Jokowi ke Ukraina dan Rusia tahun lalu, meskipun saat itu tujuan lawatan tersebut lebih pragmatis, yaitu menunjukkan kebijakan luar negeri Indonesia yang menentang agresi Rusia ke Ukraina, sekaligus komitmen Indonesia atas perdamaian.
Meski demikian, harus diakui bahwa mendamaikan Rusia dan Ukraina merupakan hal yang sulit dilakukan karena kunci penyelesaian ada di Rusia.
“Jadi Rusia ini negara besar, berkekuatan nuklir dan agak susah untuk diajak bernegosiasi. Ibaratnya kalau orang sih, keras kepala. Jadi tantangannya adalah bagaimana membujuk Vladimir Putin untuk mengekang agresifitasnya di Ukraina dan ini sebuah tantangan diplomatik yang cukup rumit bagi Indonesia,” kata Rosyidin.
Rosyidin menambahkan, Indonesia tidak memahami karakter kebijakan Rusia, negara adikuasa yang memiliki hegemoni di kawasan dan merasa menjadi penantang utama Barat selain China.
Semakin ditekan, dia yakin, Rusia akan makin keras.
Terbukti dengan tetap stabilnya ekonomi Rusia meskipun dikenai sanksi oleh Amerika dan sejumlah negara Eropa.
Rosyidin berpendapat, perang Rusia di Ukraina baru berakhir jika pemerintah Kremlin memang berniat menghentikan invasi yang dimulainya 24 Februari 2022 lalu.
Namun, itu baru terjadi apabila ada pergantian kepemimpinan di Rusia, suatu hal yang hampir mustahil mengingat sistem politik Rusia yang sentralistik.
Oleh karena itu, yang paling dapat dilakukan saat ini adalah melunakkan sikap Presiden Rusia Vladimir Putin.
Tanpa langkah konkret, pernyataan Jokowi dinilai basa-basi diplomatik
Diwawancarai secara terpisah, pengamat hubungan internasional di Universitas Airlangga, Surabaya, Radityo Dharmaputra, mengatakan peran yang sebenarnya dapat dimainkan Indonesia adalah menggabungkan kekuatan negara-negara seperti Meksiko, Korea Selatan, Turkiye, dan Australia.
Mereka diajak untuk bersama-sama berusaha mendorong Rusia menarik pasukan dari Ukraina.
Hal ini dapat ditindaklanjuti dengan melangsungkan forum perdamaian di salah satu anggota MIKTA (Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turkiye, dan Australia).
“Masalahnya, semua upaya ini baru bisa dilakukan kalau Indonesia tidak hanya memikirkan kepentingan nasionalnya sendiri. Tapi berusaha menjadi negara kekuatan menengah yang baik yang mau berperan aktif dalam upaya penciptaan tatanan global yang adil, berguna bagi semua negara,” ujar Radityo.
Tanpa langkah konkret, dia menyebut, pernyataan Jokowi untuk menjadi mediasi perdamaian Rusia-Ukraina hanya basa-basi diplomatik.
Menurutnya, pemerintah Indonesia gagal membaca konteks sejarah dalam perang di Ukraina saat ini, yaitu karena cara pandang Rusia untuk dapat terus memberi pengaruh pada negara-negara pecahan Uni Sovyet, termasuk Ukraina.
Perang Rusia di Ukraina semakin mencekam. Rusia pada Minggu (21/5/2023) mengeklaim telah menguasai kota Bakhmut, sementara Ukraina membantah hal ini.
Sehari kemudian juru bicara Kementerian Pertahanan Rusia Igor Konashenkov mengklaim telah menghantam sejumlah sasaran di bandara Dnipro dengan senjata jarak jauh berpemandu presisi yang menimbulkan kehancuran dahsyat.
Seluruh klaim dari pihak Rusia dan Ukraian belum dapat dikonfirmasi secara independen.