Sekitar 2.000 pengunjuk rasa yang kesal dengan respons pemerintah terkait pandemi pada Selasa (23/8) berkumpul di parlemen Selandia Baru. Kali ini tidak terjadi pendudukan seperti pada enam bulan silam, sewaktu pengunjuk rasa berkemah di halaman parlemen selama lebih dari tiga pekan.
Banyak di antara demonstran yang mengatakan tidak berniat mencoba bertahan di sana. Polisi memastikan pendudukan serupa tidak akan terulang dengan menutup jalan-jalan, mendirikan barikade dan melarang demonstran membawa material ke halaman kompleks parlemen.
Protes sebelumnya menciptakan gangguan yang signifikan di ibu kota dan berakhir dengan kekacauan ketika demonstran yang mundur membakar tenda-tenda dan melemparkan batu ke arah polisi.
Kali ini juga ada protes tandingan. Ratusan orang berkumpul di depan Parlemen sementara protes utama memasuki halamannya. Kedua pihak saling meneriakkan hinaan, tetapi barisan polisi memisahkan mereka secara fisik.
Protes terdahulu lebih terfokus pada tentangan terhadap mandate vaksinasi COVID-19.
Pemerintah Selandia Baru pada awalnya mewajibkan para petugas kesehatan, guru, polisi, petugas pemadam kebakaran dan tentara untuk divaksinasi. Tetapi pemerintah telah mencabut sebagian besar mandat itu, dengan pengecualian petugas kesehatan dan beberapa lainnya. Pemerintah juga telah menghapus persyaratan vaksinasi bagi orang-orang yang akan mengunjungi toko dan bar.
Protes hari Selasa ini lebih mengenai ketidakpuasan yang terus terjadi terkait penanganan krisis oleh pemerintah serta ketentuan yang berlaku sekarang ini, termasuk keharusan mengenakan masker di toko.
Seorang pengunjuk rasa, Carmen Page, mengatakan, orang-orang yang belum divaksinasi terus menghadapi diskriminasi dan orang-orang kehilangan pekerjaan serta rumah mereka akibat mandat yang ia sebut sebagai tindakan pemerintah yang berlebihan. “Kami di sini tidak untuk dikendalikan,” kata Page. “Kami hanya ingin dapat hidup secara bebas. Kami ingin bekerja di tempat yang kami inginkan, tanpa diskriminasi.”
Sementara itu peserta protes tandingan, Lynne Maugham, mengatakan ia dan suaminya memperpanjang masa tinggalnya di ibu kota untuk mengikuti protes itu. “Saya menghargai mandat, vaksinasi, cara penyedia layanan kesehatan menangani semuanya,” ujarnya.
Maugham mengatakan pemerintah tidak melakukan semua hal secara sempurna, tetapi secara umum melakukan tugasnya dengan baik. “Tidak ada cetak biru untuk menangani pandemi,” katanya.
Banyak di antara demonstran yang mengatakan berharap PM Jacinda Ardern kalah dalam pemilu tahun depan. Pemimpin protes, Brian Tamaki, mengatakan kepada massa bahwa ia memulai partai politik baru untuk mengikuti pemilu.
Ardern pertama kali terpilih sebagai perdana menteri pada tahun 2017 dan respons awalnya terhadap pandemi terbukti sangat populer. Partai Buruh pimpinannya menang telak dalam Pemilu 2020. [uh/ab]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.