korannews.com – Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur telah menggelar diskusi kelompok terfokus (FGD) untuk membahas strategi untuk mencegah nelayan-nelayan Indonesia memasuki perairan Malaysia.
Dalam keterangannya pada Kamis, Atase Perhubungan KBRI Kuala Lumpur Supendi mengatakan selama 2022 setidaknya 122 orang anak buah kapal (ABK) atau nelayan tradisional dari dua kapal ikan dan 19 perahu nelayan ditangkap oleh Malaysia atas dakwaan pelanggaran Akta Perikanan 1985 dan Akta Imigresen 1963.
Dari ke-122 orang itu, 96 di antaranya telah dijatuhi hukuman mulai 6 bulan hingga 3 tahun, sedangkan 26 orang lainnya dipulangkan dan seluruh barang bukti disita.
FGDyang digelar pada Selasa itu diikuti oleh para perwakilan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla), Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumatera Utara, dan Pemprov Kepulauan Riau.
Diskusi tersebut juga dihadiri oleh para perwakilan RI di Kuala Lumpur, Johor Bahru, Penang, Kota Kinabalu, Kuching, dan Tawau.
Menurut Supendi, FGDitu menghasilkan beberapa rekomendasi, antara lain peningkatan koordinasi dan komunikasi antara perwakilan RI dan instansi terkait di Indonesia, edukasi dan sosialiasi kepada para nelayan, serta peran aktif pemerintah daerah untuk mencegah nelayan Indonesia memasuki perairan Malaysia.
Ia juga mengatakan kementerian dan pemprov terkait perlu secara berkesinambungan melakukan sosialisasi kepada nelayan tradisional di pesisir timur Pulau Sumatera dan Kepulauan Riau mengenai batas-batas wilayah perairan kedua negara.
Diskusi itu juga membahas pentingnya kapal ikan yang digunakan nelayan-nelayan Indonesia dilengkapi dengan sarana navigasi, seperti AIS, GPS dan VMS, agar mereka mudah mengetahui apakah kapalnya berada di Indonesia atau negara lain.
Diskusi memandang pentingnya peninjauan kembali dan amandemen teks dalam Nota Kesepahaman (MoU) tentangCommon Guidelines yang ditandatangani pada 2012, agar dapat memberikan pedoman yang lebih komprehensif dalam penanganan nelayan, khususnya di “wilayah abu-abu” perbatasan laut Indonesia-Malaysia.
Diusulkan pula pengadopsian Trans Border Card bagi nelayan Indonesia dan Malaysia, sehingga mereka dapat beraktivitas menangkap ikan di “wilayah abu-abu” di Selat Melaka dan Laut Natuna, tanpa perasaan takut.
FGD juga mencatat pentingnya penyusunan anatomy of crime, karena beberapa kasus penangkapan kapal ikan kedua negara terkait dengan kejahatan antarnegara seperti penyelundupan manusia dan narkoba.
“Diharapkan FGD ini merupakan langkah awal untuk terus menerus membangun kesinambungan dalam meningkatkan perlindungan bagi nelayan tradisional Indonesia,” kata Supendi.
KBRI Kuala Lumpur terus bersinergi dengan perwakilan RI lainnya di Malaysia dan instansi terkait di Indonesia untuk meningkatkan pelindungan bagi nelayan tradisional Indonesia. katanya.