Ibu Kota, Wilayah Adat, ASN hingga Migrasi ke Papua

Ibu Kota, Wilayah Adat, ASN hingga Migrasi ke Papua

VOA – Begitu disahkan, tiga provinsi baru di Papua langsung mengundang perdebatan. Pemerintah memang menyiapkan segala hal secara baik, tetapi di tingkat masyarakat, wacana tentang daerah pemekaran belum matang. Ismail Asso, Ketua Umum Forum Komunikasi Muslim Pegunungan Tengah Papua kepada VOA menilai potensi konflik horizontal saat ini adalah sesuatu yang nyata.

Ibu Kota, Wilayah Adat, ASN hingga Migrasi ke Papua

Ismain Asso, Ketua Umum Forum Komunikasi Muslim Pegunungan Tengah Papua. (Foto: dok pribadi)

“Terus terang, kita semua menerima Daerah Otonom Baru (DOB) itu. Saya termasuk yang mendukung DOB disahkan segera, proses percepatan supaya mengentaskan kemiskinan. Tetapi, kesiapan masyarakat di bawah itu yang bisa berimplikasi menjadi konflik horizontal di antara sesama orang Papua,” kata Ismail, Minggu (10/7).

Ismail mencontohkan, pemerintah menetapkan Nabire sebagai calon Ibu Kota Provinsi Papua Tengah. Sementara Suku Meepago, yang mendiami kawasan tersebut, menginginkan Timika yang menjadi Ibu Kota. Protes sudah disampaikan, dan dikhawatirkan eskalasinya akan terus meningkat jika tidak dikelola dengan baik.

Aktivis Papua saat aksi unjuk rasa menyerukan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri di Jakarta , 1 Desember 2021. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

Aktivis Papua saat aksi unjuk rasa menyerukan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri di Jakarta , 1 Desember 2021. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

Jika masyarakat adat tidak didengar aspirasinya, tentu saja ada konsekuensinya. Dikatakan Ismail, tanah adat sepenuhnya dimiliki masyarakat adat. Jika pemerintah ingin membangun ibu kota provinsi beserta bangunan dan fasilitas di dalamnya, tentu akan memanfaatkan tanah adat.

“Mereka yang menolak itu pemilik hak ulayat tanah, sehingga sekarang misalnya kantor pemerintah mau ditempatkan di mana? Nah, mau bangun kantor, infrastruktur dan semuanya dari tingkat provinsi hingga kabupaten dan kota, itu juga bisa menjadi ada masalah di bawah,” tambahnya terkait potensi konflik kedua.

Potensi konflik horizontal juga bisa muncul terkait penetapan kabupaten mana yang masuk ke satu provinsi tertentu. Ismail menyebut masyarakat Pegunungan Bintang menginginkan tetap masuk sebagai bagian dari Provinsi Papua, atau provinsi induk yang saat ini ada. Sementara rencananya, kabupaten ini akan masuk ke Provinsi Papua Pegunungan.

Potensi konflik antar masyarakat berikutnya, menurut Ismail adalah proses pengisian aparatur sipil negara (ASN) di provinsi baru.

“Orang Papua ini kan dari sisi tingkat pendidikan rendah, sehingga nanti yang akan mengisi posisi itu, akan lebih banyak dari kelompok masyarakat pendatang di Papua. Itu juga berpotensi ke depannya akan melahirkan konflik antara masyarakat dari berbagai wilayah di Nusantara dengan kita, orang Papua,” tandas Ismail.

Padahal, kondisi itu tercipta karena sejak lama akses pendidikan bagi masyarakat Papua memang sulit.

Pemerintah Sisir Potensi Konflik

Dalam diskusi “Pemekaran Sebagai Resolusi Konflik?” yang diselenggarakan Gugus Tugas Papua, Universitas Gadjah Mada, Rabu (6/7), potensi konflik ini juga dikupas mendalam. Pejabat dari Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Brigjen TNI Danu Prionggo misalnya, menyebut soal silang pendapat penetapan ibu kota.

Mahasiswa Papua memprotes rencana pemerintah Indonesia untuk membuat enam provinsi baru di wilayah tersebut, 10 Mei 2022. (Foto: AFP)

Mahasiswa Papua memprotes rencana pemerintah Indonesia untuk membuat enam provinsi baru di wilayah tersebut, 10 Mei 2022. (Foto: AFP)

“Pasca penetapan Ibu Kota Provinsi Papua Tengah di Nabire dan cakupan wilayah Kabupaten Pegunungan Bintang menjadi bagian dari Provinsi Papua Pegunungan, terjadi peningkatan eskalasi politik dan keamanan, “ kata Danu.

Dani mengatakan, perwakilan masyarakat Mimika sempat datang ke Jakarta dan menyampaikan penolakan.

“Itu bentuk aspirasi yang positif karena disampaikan langsung ke pemerintah. Kita sampaikan agar bisa menahan diri,” tambahnya.

Pemerintah juga telah memetakan potensi kemungkinan terjadinya konflik pra maupun pasca pemekaran. “Misalnya potensi penolakan DOB, penentuan cakupan wilayah, penentuan ibu kota, pengisian jabatan politik dan pemerintahan, menguatnya arus migrasi ke Papua, serta konflik kepemilikan tanah,” kata Danu mendetilkan.

Pemerintah tentu saja memberi alasan, sekaligus wacana ke depan, terkait pemilihan ibu kota itu. Misalnya, seperti yang disampaikan Direktur Penataan Daerah, Otonomi Khusus, dan DPOP Kementerian Dalam Negeri, Valentinus Sudarjanto Sumito.

“Kabupaten Mimika akan berkembang sebagai pusat perekonomian, sedangkan kabupaten Nabire akan berkembang sebagai pusat pemerintahan,” kata Valentinus dalam diskusi tersebut.

Catatan GTP UGM

Sementara Ketua Gugus Tugas Papua UGM, Dr Gabriel Lele, mengatakan lembaga tersebut berupaya menekankan transformasi konflik sebagai kerangka pemekaran Papua. Hal itu harus diterjemahkan dalam berbagai aspek kultural maupun struktural serta negara juga wajib memberikan intervensi secara holistik.

Ketua Gugus Tugas Papua UGM, Dr Gabriel Lele. (Foto: Fisipol UGM)

Ketua Gugus Tugas Papua UGM, Dr Gabriel Lele. (Foto: Fisipol UGM)

“GTP UGM memberikan perhatian khusus pada aspek-aspek mikro seperti relasi orang asli Papua (OAP) dengan migran, hak ulayat, perekonomian yang berpihak pada OAP serta inklusivitas politik dan birokrasi. Hal ini diharapkan mampu memberikan warna dalam proses transformasi konflik,” kata Gabriel.

Tim Gugus Tugas Papua UGM sendiri telah mengidentifikasi beberapa isu krusial terkait pembentukan provinsi baru yang memerlukan perhatian serius. Pertama, penentuan ibu kota, yang sangat krusial dalam kasus provinsi Papua Tengah dengan adanya rivalitas antara Nabire dengan Mimika. Kedua, pengisian jabatan politik dan pemerintahan, terutama merujuk pada minimnya OAP di struktur birokrasi maupun politik.

Ketua DPR RI Puan Maharani memimpin Sidang Paripurna, Selasa (12/4) yang menyetujui RUU tiga provinsi baru di Papua. (Foto: Humas DPR)

Ketua DPR RI Puan Maharani memimpin Sidang Paripurna, Selasa (12/4) yang menyetujui RUU tiga provinsi baru di Papua. (Foto: Humas DPR)

Ketiga adalah arus migrasi ke Papua, karena kehadiran unit pemerintahan baru akan diikuti terbukanya peluang-peluang ekonomi dan menjadi magnet bagi migrasi penduduk dari luar Papua. Keempat, konflik kepemilikan tanah, karena belum adanya prosedur jelas dalam jual beli atau pembebasan tanah adat yang diperparah tingginya tingkat deforestasi.

Penanganan Konflik Sosial

Kepada VOA, Direktur LBH Papua Emanuel Gobay meminta pemerintah melihat persoalan ini dengan menggunakan sudut pandang sesuai UU 7/2012 tentang penanganan konflik sosial.

Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay. (Foto: Dok Pribadi)

Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay. (Foto: Dok Pribadi)

“Karena sejak perumusan hingga pengesahan ini menciptakan dua kubu, baik pro dan kontra, yang menerima DOB maupun yang menolak DOB, dan juga setelah ini menciptakan kelompok pro-kontra baru lagi,” kata Gobay.

Kelompok pro-kontra yang baru, kata Gobay, contohnya adalah soal ibu kota, masuknya wilayah ke provinsi tertentu, sebagaimana juga telah dideteksi banyak pihak.

Di sinilah pentingnya penerapan UU 7/2012 tentang penanganan konflik sosial diterapkan.

“Karena jelas-jelas kalau menggunakan kacamata tersebut, pemicunya kan perumusan kebijakan sehingga bisa melahirkan pro-kontra dan munculnya berbagai kelompok yang mudah tersulut konflik dan mengakibatkan konflik sosial,” tambahnya.

Gobay juga menyinggung tentang pengiriman pasukan keamanan ke Papua, yang ditujukan untuk mengantisipasi konflik pasca penetapan daerah pemekaran.

“Harapan saya, Kapolri bisa memerintahkan agar pendekatannya humanis. Jangan sampai ada pelanggaran hukum ataupun HAM yang terjadi, karena itu akan menambah panjang deretan fakta pelanggaran HAM. Harapannya, kita lihat ini menggunakan UU 7/2012, dalam konteks penanganan konflik sosial, secara humanis,” tegasnya. [ns/em]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Exit mobile version