Sekjen NATO Jens Stoltenberg, Kamis (4/8) mengatakan aliansi militer Barat itu memiliki tugas bersama untuk mendukung Ukraina dalam perangnya melawan invasi Rusia dan untuk mencegah konflik itu menyebar menjadi perang antara Rusia dan NATO.
Berbicara pada sebuah kamp musim panas di negara asalnya, Norwegia, Stoltenberg mengatakan NATO memiliki tanggung jawab moral untuk mendukung Ukraina dan rakyat Ukraina yang telah menjadi sasaran perang agresi.
“Kita melihat tindakan perang, serangan terhadap warga sipil dan penghancuran yang tidak terlihat sejak Perang Dunia II,” kata Stoltenberg, menurut pernyataannya yang dilansir NATO. “Kita tidak dapat acuh tak acuh terhadap hal ini.”
Stoltenberg mengatakan dunia akan menjadi tempat yang lebih berbahaya jika Presiden Rusia Vladimir Putin mendapatkan apa yang ia inginkan melalui penggunaan kekuatan militer. “Jika Rusia menang perang ini, ia akan mendapatkan pengukuhan bahwa kekerasan membuahkan hasil. Kemudian negara-negara tetangga lainnya mungkin menjadi sasaran berikutnya,” ujarnya.
Militer Ukraina, Kamis (4/8) mengatakan pasukan Rusia telah menggempur banyak daerah di Ukraina, termasuk di sekitar Kharkiv, Slovyansk dan Chernihiv.
Sementara itu, Kementerian Pertahanan Inggris mengatakan pasukan Ukraina menggunakan rudal dan serangan artileri terhadap “kubu-kubu militer Rusia, klaster personel, pangkalan pendukung logistik dan gudang amunisi.” Menurut pernyataan kementerian itu, serangan-serangan semacam itu kemungkinan besar berdampak tinggi terhadap upaya Rusia untuk menambah pasokan dan mendukung pasukannya.
Krisis energi
Menteri-menteri luar negeri dari negara-negara anggota kelompok G7 mengeluarkan pernyataan hari Rabu malam (3/8) yang mengatakan mereka sedang mencari cara untuk “mencegah Rusia mengambil keuntungan dari perang agresinya dan untuk membatasi kemampuan Rusia melancarkan perang.”
Seraya menyebut upaya-upaya untuk secara bertahap mengakhiri penggunaan energi Rusia, para menteri mengatakan mereka akan mencari langkah-langkah untuk mengurangi jumlah uang yang diperoleh Rusia dari ekspor energinya, sambil berupaya menstabilkan pasar energi global dan mencegah dampak ekonomi merugikan terhadap negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.
“Kami tetap berkomitmen untuk mempertimbangkan serangkaian pendekatan, termasuk opsi-opsi untuk melarang secara komprehensif semua layanan yang memungkinkan pengangkutan minyak mentah dan produk-produk minyak Rusia melalui laut secara global, kecuali minyak itu dibeli pada harga atau di bawah harga yang akan disepakati dalam konsultasi dengan mitra-mitra internasional,” kata pernyataan itu.
Di New York, Sekjen PBB Antonio Guterres, Rabu (3/8) mengatakan kepada wartawan bahwa organisasi itu kini sedang mencari cara-cara untuk meredakan krisis energi global yang disebabkan oleh perang.
Guterres mengatakan sewaktu perundingan untuk memulai kembali pengiriman biji-bijian dari Ukraina menunjukkan sedikit hasil, harga gandum dan pupuk mulai turun dan kini berada pada kisaran sebelum invasi. “Tetapi ini tidak berarti harga roti di toko sama dengan harga sebelum perang,” katanya memperingatkan seraya menyebut tentang tingkat inflasi global.
Guterres berharap dapat menenangkan pasar energi dalam mengantisipasi bahwa suatu kesepakatan dapat dicapai di mana pasokan akan melampaui permintaan. “Untuk itu, ada dua hal yang sangat mendasar,” katanya. “Satu, mengurangi konsumsi sebanyak mungkin. Dan kedua, berharap besar pada investasi yang kuat dalam energi terbarukan,” imbuhnya.
Pemimpin PBB itu mengkritik apa yang ia sebut sebagai “keserakahan aneh” perusahaan-perusahaan minyak dan gas yang keuntungannya sangat besar dengan adanya krisis energi.
“Tidaklah bermoral bagi perusahaan minyak dan gas untuk menarik keuntungan yang mencapai rekor dari krisis energi ini dengan mengorbankan orang dan masyarakat termiskin, dan dengan kerugian sangat besar terhadap iklim,” katanya. Ia mendesak pemerintah negara-negara agar memungut pajak atas keuntungan itu dan menggunakan hasilnya untuk jaring pengaman sosial. [uh/ab]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.