8 Juta Anak Jadi Perokok, Organisasi Profesi Kedokteran Dukung Revisi Aturan Rokok  

8 Juta Anak Jadi Perokok, Organisasi Profesi Kedokteran Dukung Revisi Aturan Rokok  

Kiki Soewarso, Ketua Bidang Komunikasi dan Media untuk Komite Nasional Penanggulangan Tembakau (Komnas PT) menyatakan perkembangan proses revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan mengalami kemajuan setelah pemerintah melalui Kementerian Kesehatan menyatakan akan melakukan revisi peraturan pemerintah tersebut dalam uji publik yang dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan.

Revisi peraturan pemerintah itu disebutkan akan memperkuat perluasan peringatan kesehatan bergambar, larangan penjualan ketengan, larangan iklan terutama pada iklan di internet dan media luar ruang, promosi dan sponsor. Serta pengaturan rokok elektronik seperti pada rokok konvensional dan memperkuat pengawasan dan sanksi.

“Mengajak seluruh pihak memberikan dukungan untuk demi perlindungan anak dan keluarga miskin itu sebetulnya yang ingin dilindungi dengan PP 109/2012 ini melalui pemberitaan-pemberitaan media,” kata Kiki Soewarso dalam konferensi pers, Jumat (12/8).

Revisi yang sedang dilakukan pemerintah itu diharapkan memperkuat perlindungan masyarakat, terutama kelompok anak dan keluarga miskin dari ancaman bahaya rokok.

8 Juta Anak Jadi Perokok

Merujuk laporan Komnas PT, jumlah perokok di Indonesia sebanyak 166 juta orang dengan 8 juta di antaranya adalah perokok anak.

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 prevalensi perokok anak telah mencapai 9,1 persen. Usia rata-rata perokok pemula di Indonesia semakin muda dan jumlah perokok pemula naik 240 persen berdasarkan Riskesdas 2007-2018. Ini artinya, peraturan yang ada belum cukup mengendalikan konsumsi rokok terutama pada anak.

Kelemahan aturan ini memperlihatkan tingginya penetrasi anak pada produk zat adiktif ini. Seperti yang disampaikan oleh Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2019, anak-anak usia SMP masih sangat mudah mengakses rokok karena harganya yang murah, tidak dicegah meski masih usia anak, dan dapat dibeli ketengan. Selain itu, anak-anak yang terbukti terdorong mencoba merokok karena masifnya iklan, promosi dan sponsor rokok.

Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Adib Khumaidi menyatakan hingga kini Indonesia belum memiliki regulasi yang benar-benar kuat untuk mengendalikan konsumsi rokok, bahkan sampai ini Indonesia belum meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC).

“Ini adalah upaya kita untuk meremainding (mengingatkan) tugas negara melindungi rakyatnya karena kepentingan kita bukan kepentingan saat ini tapi kepentingan masa depan,” kata Adib Khumaidi.

Pengendalian Rokok Elektronik

Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Agus Dwi Susanto menyatakan salah satu poin yang harus masuk dalam revisi PP 109/2012 adalah pengendalian konsumsi rokok elektronik. Hal ini menjadi penting karena masifnya produk baru zat ini.

8 Juta Anak Jadi Perokok, Organisasi Profesi Kedokteran Dukung Revisi Aturan Rokok  

Minimnya regulasi dinilai mempermudah anak-anak di bawah umur membeli rokok elektronik (foto: ilustrasi).

Rokok elektronik dengan rokok konvensional sama-sama mengandung nikotin, bahan karsinogen dan bahan toksik lainnya yang sama-sama adiksi dan berbahaya bagi kesehatan.

“Jadi tidak benar kalau rokok elektronik itu lebih aman,” tegas Agus Dwi Susanto.

Penelitian menunjukkan ada sepuluh dampak rokok elektronik pada sistem paru dan pernapasan diantaranya iritasi saluran napas, meningkatkan risiko bronkitis, risiko asma, risiko radang paru, paru bocor dan kanker paru.

Belanja Rokok Terbesar Kedua Setelah Beras

Komnas PT dan enam organis profesi kedokteran dalam siaran pers-nya menyatakan BPS hampir setiap tahun menyebutkan belanja rokok pada keluarga miskin menempati posisi kedua terbesar setelah beras. Artinya, kesempatan keluarga miskin untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik, terutama dari sisi kesehatan menjadi sangat kecil akibat perilaku merokok. Yang artinya, upaya menekan angka stunting yang sebagian besar terjadi pada keluarga miskin juga semakin sulit.

“Kalau orang tuanya menggunakan uang belanja untuk membeli rokok maka jatah untuk membeli lauk pauknya menjadi berkurang. Anak-anak kekurangan telur, kekurangan ikan akibatnya menjadi stunting. Ini menjadi sebuah ironi ketika negara kita ingin mengurangi angka stunting tetapi merokoknya tidak dikendalikan,” kata Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Piprim Basarah Yanuarso.

Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia dalam risetnya yang mengolah data Indonesian Family Life Survey (IFLS) menyebutkan, anak pada keluarga perokok berpotensi menjadi stunting baik dari berat badan maupun tinggi badan.

Sebelumnya, Pemerintah telah gagal mencapai target penurunan prevalensi perokok anak dari 7,2% (2013) menjadi 5,4% (2018). Kini, Pemerintah hanya berani menargetkan penurunan prevalensi perokok anak menjadi 8,7% pada 2024. Bappenas memproyeksikan, prevalensi perokok anak Indonesia akan mencapai 16% pada 2030 jika kendali konsumsi tidak segera diperketat dan dibiarkan tetap seperti saat ini. [yl/em]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Exit mobile version