Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) mengatakan terdapat 20,7 juta hektare wilayah adat di Tanah Air yang telah terdaftar. Publikasi wilayah adat tersebut dilakukan sebagai bagian dari peringatan Hari Masyarakat Adat Internasional yang jatuh pada 9 Agustus setiap tahunnya.
“Jadi total wilayah adat yang telah diregistrasi ke BRWA itu 1.119 (peta wilayah) dan luasnya sekitar 20,7 juta hektare yang tersebar di 29 provinsi dan 142 kabupaten,” kata Divisi Data dan Informasi BRWA, Ariya Dwi Cahya, dalam konferensi pers, Selasa (9/8).
Ariya mengatakan pembaruan data tersebut diperoleh dari sistem registrasi wilayah adat BRWA. Sistem ini meliputi tahapan mulai dari sertifikasi wilayah adat, verifikasi, registrasi, dan pencatatan data.
“BRWA telah melakukan sertifikasi terhadap 634.216 ribu hektare di 47 peta (wilayah adat),” katanya.
Sementara wilayah adat yang memerlukan verifikasi mencapai sekitar tiga juta hektare dari 144 peta, dan yang teregistrasi 17 juta hektare di 923 peta. Sedangkan luas wilayah yang tercatat adalah 74.262 hektare yang berasal dari lima peta.
Dari data tersebut, kata Ariya, terdapat 189 wilayah adat seluas 3,1 juta hektare yang telah memperoleh pengakuan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) dan Surat Keputusan kepala daerah Provinsi atau kabupaten/kota. Namun, wilayah adat yang belum mengantongi penetapan pengakuan wilayah adat masih dominan, yaitu sekitar 17,7 juta hektare. Dengan demikian baru 15 persen wilayah adat yang sudah diakui oleh pemerintah daerah (pemda).
Ariya juga menjelaskan bahwa terdapat sekitar 15,6 juta hektare wilayah adat dengan 688 peta yang sudah diatur di dalam kebijakan daerah. Sedangkan wilayah yang belum mendapatakan ketetapan mencapai sekitar dua juta hektare dengan 242 peta.
Ariya menjelaskan bahwa status hutan adat itu dibagi menjadi dua, yaitu yang masih berbentuk potensi dan telah ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Saat ini yang masih berbentuk potensi dari total 20,7 juta hektare wilayah adat itu adalah 16,9 juta hektare di 876 peta. Sedangkan, yang sudah ditetapkan oleh KLHK ada 75.783 hektare.
Berdasarkan status regional wilayah adat, Sumatra memiliki 257 peta wilayah adat dengan luas sekitar dua juta hektare. Lalu, Kalimantan 476 peta wilayah adat dengan 7.7 juta hektare. Kemudian, Sulawesi 159 peta wilayah adat dengan luasan sekitar 1,6 hektare. Selanjutnya, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara 97 peta wilayah adat dengan 538.022 hektare. Terakhir, ada Maluku dan Papua memiliki 130 peta wilayah adat dengan cakupan area terbesar yang mencapai sekitar 8,9 juta hektare.
“Untuk status registrasinya beragam. Di Sumatra ada lima (peta wilayah) yang sudah disertifikasi, diverifikasi 24 (peta wilayah), dan diregistrasi 228 peta. Untuk yang di Kalimantan ada 12 (peta) sudah disertifikasi BRWA, diverifikasi ada 13 (peta), diregistrasi 447 (peta), dan tercatat ada empat (peta),” ujar Ariya.
“Sulawesi ada 19 peta yang sudah disertifikasi, 75 peta diverifikasi, dan 65 peta diregistrasi. Adapun Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara terdapat lima peta yang sudah disertifikasi, 21 peta diverifikasi, dan 71 diregistrasi. Lalu, Maluku serta Papua ada enam peta yang disertifikasi, 11 peta diverifikasi, 112 peta diregistrasi dan tercatat ada satu peta wilayah adat,” Ariya menambahkan.
Dengan kata lain, total status registrasi yang paling banyak dilakukan sertifikasi ada di Sulawesi. Sedangkan yang masih minim ada di Jawa-Bali-Nusa Tenggara, dan Sumatra.
Sementara untuk status penetapan lahan adat oleh pemda, Sumatra menjadi yang terbanyak dengan 74 penetapan wilayah adat. Lalu, diikuti oleh Kalimantan dengan 42 peta wilayah adat yang ditetapkan pemda. Kemudian, Sulawesi dengan 41 peta wilayah adat, Jawa-Bali-Nusa Tenggara ada 17 peta, serta Maluku dan Papua dengan 15 peta.
Kemudian, status tanah adat yang berpotensi ditetapkan oleh KLHK paling banyak ada di Maluku dan Papua dengan luasan sekitar 8,1 juta hektare.
“Di Kalimantan itu juga terbesar kedua (6,5 juta hektare) dan yang paling kecil ada di Jawa-Bali-Nusra (292.566 hektare),” tandas Ariya.
Kendati demikian, capaian pengakuan hak masyarakat adat atas hutan adat dan tanah ulayat oleh pemerintah pusat juga masih belum menggembirakan. Salah satu contohnya seperti yang dialami oleh masyarakat adat di kawasan Danau Toba, Sumatra Utara.
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, Roganda Simanjuntak, mengatakan masyarakat adat di kawasan Danau Toba masih dihadapkan dengan persoalan konflik agraria. Misalnya, perampasan wilayah masyarakat adat di Tanah Batak melalui pemberian izin kepada perusahan-perusahaan di kawasan Danau Toba.
“Perampasan wilayah adat di Tanah Batak melalui izin-izin yang diberikan oleh pemerintah salah satunya dampak kehadiran PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang menghancurkan semua sendi-sendi kehidupan masyarakat adat,” katanya kepada VOA.
Bukan hanya perampasan tanah adat. Masyarakat adat di kawasan Danau Toba juga dihadapkan dengan situasi yang tak berpihak kepada mereka seperti penghancuran hutan adat, penggusuran, kriminalisasi, tindakan kekerasan, dan penghancuran situs-situs sakral masih terjadi sampai hari ini.
“Pemerintah melakukan pembiaran atas terjadinya hal-hal yang saya sebutkan tadi. Hari ini masyarakat adat Tanah Batak sepakat untuk memperkuat gerakan dalam rangka memastikan hak-hak masyarakat adat atas hutan adatnya bisa segera diakui. Lalu, dikembalikan oleh pemerintah kepada masyarakat adat,” ujar Roganda.
Akibat perampasan ruang hidup masyarakat adat, kata Roganda, ritual adat hingga aktivitas kebudayaan lain perlahan-lahan mulai sirna. Untuk itu dia meminta agar pemerintah mengembalikan hak-hak masyarakat adat.
“Pemerintah segera mengembalikan wilayah-wilayah adat yang dirampas melalui pemberian izin kepada PT TPL. Pemerintah juga segera menutup PT TPL agar masyarakat adat bisa dengan tenteram hidup di wilayah adatnya,” pungkasnya. [aa/ah]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.