korannews.com – Jakarta, CNBC Indonesia – Budaya pamer sudah ada sejak dulu, namun nampaknya perilaku tersebut lebih menjamur setelah era sosial media.
Banyak orang, di berbagai platform sosial media, memamerkan harta benda yang mereka miliki, mulai dari tas dari merek high-end ternama, jam tangan seharga ratusan juta, hingga mobil sport mewah.
Survey yang dilakukan McKinsey menemukan bahwa rata-rata orang Korea suka menunjukkan barang mewah mereka. Dan hanya 22% dari responden yang menganggap pamer barang mewah sebagai hal yang negatif.
Hal ini jauh berbeda bila dibandingkan dengan 45% orang Jepang dan 38% orang China yang menganggap pamer sebagai hal negatif.
Budaya pamer di kalangan warga Korea Selatan juga berkorelasi dengan tingginya angka penjualan barang mewah di Negeri K-pop.
Total pengeluaran untuk barang mewah di Korea Selatan selalu tumbuh dari tahun ke tahun sekitar 24% menjadi US$16,8 miliar atau setara Rp 263,9 triliun (asumsi kurs Rp 15.114 per US$) setahun.
Analis Morgan Stanley menilai permintaan barang mewah di kalangan pembeli Korea Selatan didorong oleh peningkatan daya beli serta keinginan untuk menunjukkan status sosial.
“Korea Selatan adalah pembelanja terbesar di dunia untuk barang-barang mewah pribadi per kapita, baik itu tas Prada Italia dari kulit sapi atau mantel Burberry Inggris kotak-kotak klasik,” ungkap Stanley, dilansir CNBC Internasional.
Alasan utama di balik perilaku pamer, menurut ahli psikologi, adalah insecurity alias perasaan terancam sehingga seseorang merasa perlu menunjukkan kekayaan atau pencapaiannya.
Alasan lain yang bisa menjadi pendorong perilaku pamer adalah keinginan untuk diakui dan diterima oleh lingkungan sosialnya.
Mungkin, seseorang tidak memiliki niat jelek. Sebab, pada dasarnya, sifat dasar manusia adalah untuk menjadi sosial, baik dalam komunitas atau kelompok kecil. Jadi, ketika seseorang merasa dirinya masih asing di kelompoknya, ia mulai memamerkan kepandaiannya, gelar pendidikannya, bakatnya, prestasinya atau harta bendanya untuk diterima.