Susu sebagai Protein Hewani, Promosi Kemewahan dengan Risiko Mengintai

Susu sebagai Protein Hewani, Promosi Kemewahan dengan Risiko Mengintai

korannews.com – gizi nasional tahun ini, diperingati dengan menggarisbawahi konsumsi protein hewani, khususnya pada periode emas tumbuh kembang.

Dengan demikian, perkenalan pertama seorang bayi makan di usia 6 bulan dimulai dengan Makanan Pendamping ASI (MPASI) lengkap yang komposisinya ada protein hewani.

Menu tunggal atau yang saat zaman dahulu dikenal dengan ‘perkenalan’ pisang lumat atau bubur susu, telah jauh ketinggalan jaman, menyisakan bayi-bayi anemia karena justru di usia 6 bulan cadangan zat besinya sudah nyaris habis.

Kebutuhan zat besi bayi 6-11 bulan sebanyak 11 mg per harinya butuh dipenuhi dan dikejar dengan asupan protein hewani yang mumpuni. Sebab, anemia adalah salah satu kontributor hambatan tumbuh kembang, selain memberi nafsu makan yang buruk.

Menyiasati asupan protein hewani sebagai salah satu sumber zat besi terbaik (karena jenis senyawanya adalah ‘heme’, yang lebih mudah diserap tubuh) dibanding protein nabati (yang jenis senyawa zat besinya ‘non heme’ yang hanya bisa diserap kurang dari 20%), merupakan tantangan tersendiri di negri ini.

Kuatnya mitos dalam pemberian makan bayi dan anak, amat memengaruhi keputusan orangtua dan ‘kepercayaan’ yang selama ini mengikat masyarakat.

Anehnya, hati ayam sebagai sumber zat besi hewani yang terbaik (terdapat 15.8 mg zat besi per 100 gram hati ayam) dituding sebagai organ stok racun, jerohan tinggi kolesterol, dan masih banyak serangan bertubi-tubi, sehingga ibu-ibu muda lebih memilih ‘jalan ninja’ masing-masing dengan informasi yang bersliweran di media sosial.

Alhasil, terjadi perubahan masif bubur bayi masa kini dibanding saat kita kecil dahulu yang sesederhana ulekan bubur dengan hati ayam, wortel dan bayam.

Dan anak-anak yang tumbuh di zaman itu baik-baik saja. Tidak ada yang keracunan, apalagi menderita kolesterol tinggi di usia dini.

Miskin Literasi Jadi Kesempatan Pemasaran Susu Makin Berani

Sementara ibu-ibu masa kini justru merasa bersalah jika tidak mampu membeli salmon, unsalted butter atau ‘keju bayi’, sebagaimana panduan media sosial yang semakin mengerikan.

Mendera rasa bersalah adalah jurus manjur para pelaku ekonomi alias pencari untung yang berkecimpung menamakan diri ‘pendukung’ gerakan sadar gizi.

Itu sebabnya, di negri kita riuh rendah aneka iklan berhamburan yang kian menekan rasa percaya diri para ibu untuk menjadi mampu.

Mampu menyusui tanpa bantuan susu lain, mampu memilih, meracik dan mengolah pangan anak sejak pertama kali belajar makan. Tapi alih-alih munculnya dukungan untuk itu semua, yang ada justru rayuan untuk berubah haluan.

Tak jarang ibu ‘terpaksa’ beralih ke susu formula, karena merasa ASI-nya terlalu sedikit. Anaknya kurus. Desakan mertua dan tetangga yang mengatakan ASI-nya bening tak berharga.

Hanya karena miskinnya literasi manajemen laktasi, akhirnya etika pemasaran susu pengganti semakin berani.

Padahal republik ini punya Undang-undang no.36/2009 pasal 200 dan 201 yang jelas-jelas menyatakan, bahwa siapa pun yang dengan sengaja menghalangi program ASI eksklusif bisa dianggap tindak pidana dengan kurungan 1 tahun atau denda seratus juta rupiah.

Begitu pula Peraturan Pemerintah no.33/2012, Permenkes no.15/2014 memberi peringatan keras tentang larangan tenaga kesehatan mempromosikan susu formula, bahkan wajib melakukan inisiasi menyusui dini terhadap bayi baru lahir.

Bahkan, Permenkes yang sama juga memberi aturan jelas bagi produsen dan distributor sufor atau susu formula yang salah satunya tidak boleh memberikan hadiah, bantuan kepada nakes apalagi contoh gratis produk, menawarkan dan menjual langsung sufor ke rumah-rumah.

Jika uraian di atas cukup mengagetkan, maka artinya selama ini terjadi pembiaran masif dan elaborasi produk perdagangan yang ‘overclaim’, sebagaimana disebut dalam dokumen WHO: World Health Assembly Resolution on the Inappropriate Promotion of Foods for Infants bulan November 2016.

Kalimat-kalimat iklan yang secara tidak langsung menimbulkan asumsi seakan produk tersebut meningkatkan kesehatan anak atau performa intelektual, misalnya.

Susu Bukan Asupan Istimewa

Sudah sejak zaman penjajahan, susu dan turunannya dianggap asupan ‘berkelas’. Sekalipun slogan 4 sehat 5 sempurna sudah dihapuskan resmi dengan Permenkes no. 41/2014 tentang Pedoman Gizi Seimbang, selalu saja masih ada yang menggunakan ketidaktahuan publik sebagai kesempatan promosi.

Dalam Permenkes tersebut, posisi susu sama saja seperti protein hewan lainnya. Tidak perlu diistimewakan, apalagi menyempurnakan gizi.

Iklan layanan masyarakat yang terlalu sedikit dibandingkan iklan produk yang teramat masif membuat pemahaman yang tidak objektif di masyarakat.

Apalagi jika nakes terlibat di dalamnya, menyitir yang katanya hasil studi – sementara studinya tidak bebas kepentingan alias mendapat pendanaan, bantuan, sponsor industri yang punya kepentingan.

Bukan rahasia umum lagi, studi sahih membutuhkan dana tidak sedikit, dari ratusan juta rupiah hingga hitungan miliar. Sementara penghasilan pribadi nakes mustahil menjadi bagian ‘darma bakti’ akademisi.

Akibat dari pengandaian superlatif kedudukan susu, alhasil para orangtua yang anaknya punya masalah makan (termasuk perilaku) akan beralih ke susu – yang semakin membuat anaknya tidak makan.

Sementara dengan posisinya sebagai produk industri, tentu tak terelakkan mempunyai ‘kasta’. Bagi yang aktif di media sosial khususnya yang memerhatikan isu tumbuh kembang anak, ‘perang pamer sufor’ telah menjadi amat mengerikan.

Bahkan tak jarang ibu-ibu menjadi ‘sales terselubung’ dengan bangganya mengunggah susu yang diminum anak-anaknya.

Susu bukannya tidak menimbulkan masalah secara fisik. Di asia tenggara, intoleransi laktosa menempati peringkat atas: lebih dari 80% populasi rentan diare dan tidak mampu mencerna susu hewan.

Bayi-bayi yang tidak mendapatkan air susu ibunya dan diganti produk susu hewan, justru menjadi tidak tumbuh dengan baik apalagi jika alergi hingga tinja berdarah.

Jadi alih-alih menjadi sumber pangan yang menyehatkan, susu bisa menjadi biang keladi masalah kesehatan.

Akhirnya teknologi campur tangan: dengan harga fantastis tentu saja, muncul aneka produk rendah laktosa bahkan susu dengan ‘protein terhidrolisa parsial’.

Susu Formula Ditujukan untuk Indikasi Khusus

Tulisan di atas tidak boleh menyudutkan penulis sebagai ‘manusia anti susu’. Susu formula, sesuai dengan namanya, tentu diformulasikan untuk tujuan-tujuan khusus.

Yang sering disebut sebagai ‘indikasi’. Bayi dengan kelainan enzim, ibu yang mengonsumsi obat-obatan tertentu, adalah contoh situasi dimana sufor menjadi salah satu pilihan.

Yang pasti, sufor bukan indikasi untuk manajemen laktasi yang buruk atau ketidaktahuan ibu akan perlekatan yang benar sehingga bayinya tidak menyusu optimal.

Dengan pemahaman sempit tentang susu, tak jarang orangtua yang merasa terpojok karena kelihatan ‘kampungan’ dengan anaknya yang masih menetek – beralih ke cairan kental manis – yang mirip susu orang-orang kaya itu.

Anak akan semakin terjerat kecanduan asupan tinggi gula yang mengakibatkan masalah di kemudian hari.

Dan lebih mengerikan lagi, anak gemuk akibat pola konsumsi yang salah, malah jadi kebanggaan orangtuanya.

Ini semua adalah awal rentetan penyakit kronik yang jadi beban masa depan dan anjloknya kualitas manusia di masa (yang semestinya) bonus demografi.

Anak yang telah mulai makan, perlu mendapat sumber bahan pangan yang diolah dengan tekstur, jumlah dan frekuensi pemberian yang tepat sebagai makanan pendamping ASI.

Anak yang sulit makan dengan kekhawatiran berat badan terjun bebas dan tinggi badan mulai stagnan perlu dievaluasi cara pemberian makannya selain ditelusuri penyebab fisik yang mungkin melatarbelakangi (sedang sakit, anemia, tumbuh gigi, belum buang air besar, dsb).

Betapa sedihnya, peternak telur dan ayam tidak didukung iklan, penangkap ikan tidak diberi semangat agar hasil tangkapannya tetap segar sampai ke tangan konsumen agar anak-anak mendapat gizi cukup bebas stunting.

Padahal, telur adalah menyumbang protein paling tinggi dengan harga yang sama dibanding sumber protein lainnya. Padahal, ikan adalah protein hewani yang kaya asam lemak yang mencerdaskan otak. Dari kekayaan tanah air sendiri.

Sementara sebagai produk yang rentan tingkatan kasta, kementerian perindustrian kita mengakui sebagian besar bahan baku industri olahan susu dipasok dari negri orang alias impor. Jadi, buat saya, susu cukuplah jadi pilihan, tanpa perlu dipromosikan.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Exit mobile version