Publik diminta tak percaya pada satu informasi guna cegah “deepfake”

Publik diminta tak percaya pada satu informasi guna cegah “deepfake”

korannews.com – Pengamat Budaya dan Komunikasi Digital dari Universitas Indonesia Firman Kurniawan meminta masyarakat untuk tidak langsung percaya hanya pada satu informasi guna menghindari konten manipulasi deepfake.

“Jadi masyarakat perlu mengkombinasikan sumber-sumber informasi, tidak hanya pada satu macam saja,” ujar Firman saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Selasa.

Deepfake merupakan teknik manipulasi menggunakan kecerdasan buatan. Deepfake bisa membuat konten seolah-olah seseorang mengatakan atau melakukan sesuatu, padahal sebenarnya tidak mereka lakukan.

Keberadaan deepfake dinilai membuka peluang timbulnya disinformasi di tengah masyarakat. Konten-konten deepfake diyakini akan semakin banyak ditemukan, khususnya di tahun politik seperti saat ini.

Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak 2024, konten-konten deepfake berpotensi digunakan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab untuk saling menjatuhkan antar kandidat peserta pemilu.

Untuk terhindar dari konten tersebut, Firman meminta masyarakat untuk lebih selektif dalam memilah Informasi yang diperoleh. Masyarakat diminta tidak terpaku dan langsung percaya terhadap informasi yang diperoleh hanya dari satu sumber. Hal itu, kata dia, penting untuk terhindar dari filter bubble maupun echo chamber.

“Kalau sumber informasinya dibaca oleh algoritma satu macam, itu akan terjebak yang namanya filter bubble dan echo chamber. Jadi dia masuk ke sebuah ruangan yang sudah berisi dengan informasi-informasi sejenis. Dia mengira itulah kenyataan tentang kandidat yang saya dukung, padahal kalau kita pakai sumber informasi yang lain, itu bisa jadi bunyinya akan lain, dan itu perlu keterbukaan pikiran untuk memahami,” kata Firman.

Lebih lanjut Firman mengatakan, upaya lainnya yang bisa dilakukan agar terhindar dari konten tersebut di tahun pemilu adalah dengan lebih mengenal latar belakang dari kandidat peserta pemilu yang diusung.

Dengan demikian, masyarakat tidak akan langsung percaya, atau setidak-tidaknya curiga ketika menerima konten “janggal” tentang kandidat yang diusung.

“Jadi perlu pengenalan terhadap masing-masing kandidat dan mengombinasikannya dengan sumber informasi lainnya, jadi kita punya perbandingan mungkinkah seseorang berbicara seperti itu. Akhirnya bukan hanya berpatokan pada unggahan media sosial atau media digital tetapi juga karakter-karakter yang melekat pada kandidat tersebut,” kata dia.

Dalam kesempatan itu, Firman turut berpesan kepada media arus utama untuk tetap menjadi rumah penjernih informasi di tahun pemilu. Keberadaan media arus utama yang terpercaya dan memiliki kredibilitas yang baik akan sangat berperan dalam memerangi disinformasi, malinformasi, misinformasi, hoaks, hingga konten manipulasi deepfake.

Exit mobile version