korannews.com – Psikolog anak dan keluarga, Rosdiana Setyaningrum, M.Psi, MHPEd, menilai bahwa keputusan seseorang atau pasangan untuk tidak memiliki anak atau childfree adalah sebuah pilihan. Setiap individu punya alasan tersendiri yang melatarbelakangi pilihannya tersebut.
“Orang kan suka bilang, ‘Mungkin dia masa kecilnya trauma’. Kalau menurut saya, belum tentu, ya. Banyak juga kok orang-orang yang trauma terus malah punya anak,” kata alumni Universitas Indonesia itu, dikutip Pikiran-Rakyat.com dari Antara.
Menurut Rosdiana, ada banyak alasan yang melatarbelakangi seseorang memilih untuk childfree dan kebebasan merupakan salah satunya.
Bagi orang yang berjiwa bebas dan suka bepergian, dia akan mempertimbangkan lagi untuk mempunyai anak, karena dapat mempersempit pergerakan atau tidak lagi bisa leluasa. Alasannya, karena tanggung jawab yang datang bersama kehadiran sang anak.
Meskipun tidak semua orang yang memiliki trauma masa kecil memutuskan untuk childfree , tetapi mereka yang memilih untuk tidak punya anak setelah menikah karena pengalaman tidak menyenangkan saat masih kecil memang ada.
Selain itu, sebagian orang atau pasangan memiliki alasan tentang kesiapan yang biasanya terletak pada materi, fisik, maupun mental. Sehingga, dia lebih memilih untuk childfree .
Namun, Rosdiana juga mengimbau kepada mereka yang belum siap mempunyai anak agar mengakuinya bahwa dia belum siap dan untuk sementara waktu tidak ingin memiliki anak.
Apalagi mereka yang akan melangkah ke jenjang pernikahan, kata Rosdiana, rencana masa depan perlu untuk didiskusikan bersama calon pasangan hidupnya, salah satunya adalah terkait memiliki anak atau tidak.
Psikolog klinis anak dan remaja, Vera Itabiliana Hadiwidjojo, S.Psi, menyampaikan bahwa mereka yang memilih childfree juga bisa mengubah keputusannya pada masa depan.
Dia juga menilai bahwa seorang atau pasangan memiliki alasan berbeda-beda, termasuk jangka waktu dari keputusannya untuk childfree .
“Ada yang memutuskan secara permanen atau temporer, yang mana dia bisa saja berubah pada kemudian hari,” kata psikolog dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia (LPT UI) itu.***