Kadus, Kapuskes, dan Ketua TP PKK, Pahlawan Sejati Pencegahan Stunting

Kadus, Kapuskes, dan Ketua TP PKK, Pahlawan Sejati Pencegahan Stunting

korannews.com – bulan terakhir ini, pekerjaan ekstra saya adalah berkeliling ke berbagai posyandu memenuhi undangan Tim Penggerak PKK dan tentu saja bergandengan dengan Persatuan Ahli Gizi Indonesia.

Di tengah maraknya istilah stunting yang mendapat definisi simpang siur, mulai dari kerdil hingga anak bodoh dan kengerian isu stunting dijadikan sarana promosi liar aneka produk pengganti ASI, saya merasa bangga menghadirkan 3 tokoh luar biasa.

Pertama, Kepala dusun (Kadus) Kelurahan Banjar Arum Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulonprogo Daerah Istimewa Yogyakarta, kedua, Kepala Puskesmas Rapak Mahang Kecamatan Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur, dan ketiga, Ketua Tim Penggerak PKK Kota Kediri Jawa Timur.

Kepala dusun Banjar Arum dan prinsipnya menjaga gizi ibu hamil

Kepala dusun paruh baya yang amat bersahaja, sesederhana namanya: Pak Warudi – telah menjalani amanahnya selaku kepala dusun selama 2 periode.

Dikenal sebagai orang yang amat peduli dengan kesehatan ibu hamil dan balita, beliau selalu antusias mengikuti pelbagai penyuluhan seputar ibu dan anak yang diselenggarakan puskesmas setempat.

Prinsipnya amat jelas: untuk mengharapkan generasi penerus berprestasi dan punya masa depan yang baik, maka kecukupan gizi dan kesehatan ibu hamil menjadi prioritasnya.

Dengan fasih dijelaskannya, bahwa Kekurangan Energi Kronik (KEK) dan anemia masih menjadi masalah ibu hamil di wilayahnya.

Untuk itu, Pak Warudi menerapkan inovasi pembagian ‘voucher’ ambil telur gratis di warung maupun koperasi, bagi ibu-ibu yang terdata menderita anemia dan KEK.

“Telur itu yang paling cepat mendongkrak asupan protein sekaligus mencegah stunting!” ujarnya dengan penuh percaya diri. Hal ini dibenarkan oleh Kepala Puskesmas Kecamatan Kalibawang, dr. Theresia Rudatun yang mempertemukan saya dengan kepala dusun luar biasa ini.

Saya beruntung bisa berbagi dengan para ibu-ibu balita posyandu Kedondong bersama ibu Kepala dusun yang amat suportif turun tangan ikut membuat PMT (Pemberian Makanan Tambahan) yang sungguh-sungguh lokal banget: Mento.

Tidak banyak orang menyadari, bahwa makanan tradisional ini bukan hanya kaya rasa tanpa racikan bumbu sulit, tapi juga mudah dibuat, amat bergizi, bahkan bisa diolah lumat bagi bayi.

Sore itu kami membuat mento dari tepung beras, santan, diisi hati ayam cincang dan sedikit wortel. Kemudian, dibungkus daun pisang yang tinggal ambil dari kebu.

Mento kukus itu membuat para ibu takjub melihat para bayi dan balita melahapnya dalam hitungan menit, habis tandas!

Tokoh lain yang menjadi motor perubahan di wilayah kerjanya adalah seorang bidan sekaligus Kepala Puskesmas, yang pernah mendapat penghargaan sebagai tenaga kesehatan terbaik.

Peran Bidan Siti Aminah

Bidan Siti Aminah yang juga konselor laktasi ini, dengan dukungan camat mampu menganggarkan kegiatan pencegahan stunting tanpa alokasi susu formula, sebaliknya PMT berbahan pangan lokal digencarkan dengan melatih para kader dan pemberdayaan remaja, ibu hamil, dan ibu menyusui.

Dimulai dengan rasa gemasnya akan desa-desa pinggir sungai yang penuh limpahan aneka jenis ikan berprotein tinggi seperti patin dan gabus, Bidan Siti Aminah berjuang memperkenalkan kembali PMT berupa bubur ikan patin, risoles isi ikan gabus, dan aneka kudapan berbahan labu.

Di saat sungai surut, labu tumbuh tanpa perlu dipupuk apalagi dirawat, dan ini merupakan aset pangan yang mesti dihargai, katanya dengan penuh semangat.

Saat ditanya apa yang membuat masyarakat tidak makan kekayaan lokal di daerahnya, ia menyebut masalah ‘ketidaktahuan masyarakat’ – yang membuat desa kaya kelihatan miskin dan rakyatnya akhirnya terpapar iklan dan memberi produk yang jauh lebih mahal dan kualitas pangannya tidak layak.

Ia meyakini, dengan analisa yang cermat tentang situasi masyarakat dan ketersediaan bahan pangan lokal, maka bisa disusun program yang mudah dilakukan, tidak memberatkan masyarakat dan kunci terpenting adalah mengangkat ketidaktahuan menjadi pengetahuan.

Istri Walikota yang Jadi Konselor Laktasi Bersertifikat

Ada juga Ferry Silviana Feronica, yang dikenal dengan panggilan kesayangan Bunda Fey, menurutnya menjadi istri Walikota Kediri justru ibarat mengejar mimpi menuntaskan masalah miskinnya literasi.

Sebagai sarjana pertanian, walaupun tidak mempunyai latar belakang pendidikan kesehatan, ia memberanikan diri mengikuti pelatihan konseling menyusui dengan modul 40 jam sesuai standar WHO dan berhasil menjadi seorang konselor laktasi bersertifikat.

Ia menyayangkan, banyak orangtua tidak mengerti, bahwa makanan terbaik di 6 bulan kehidupan pertama seorang anak adalah Air Susu Ibu.

Dan menyusui harus diteruskan hingga 2 tahun atau lebih dengan Makanan Pendamping ASI di usia 6 bulan.

Memanfaatkan kepiawaian nakes, Bunda Fey mengajak semua pihak terkait untuk ikut memantau kesehatan ibu dan anak dengan edukasi yang benar.

Menurutnya, perilaku masyarakat bisa berubah apabila edukasi sukses mendongkrak literasi. Sehingga, mitos atau kepercayaan-kepercayaan tak berdasar yang selama ini ‘nancap’ di benak orangtua akibat disinformasi atau promosi berlebihan yang membentuk ‘mindset’ tidak benar, bisa tersingkirkan.

Salah satunya tentang susu formula yang tidak digunakan sesuai indikasi, dianggap ‘bikin anak gemuk dan pintar’.

Ketiga tokoh hebat di atas memang baru segelintir dari sekian banyak tokoh lain yang saya percaya, akan ada masanya diangkat sebagai pahlawan literasi edukasi kesehatan ibu dan anak yang sesungguhnya, yang berjuang tanpa didanai sponsor berbau kepentingan apalagi menguntungkan pihak-pihak tertentu.

Satu-satunya perjuangan mereka adalah upaya mengangkat derajat kesejahteraan dan pemberdayaan dalam arti sesungguhnya: mengulik potensi lokal, menciptakan kebanggaan jati diri dengan mengusung kekayaan pangan, budaya, sekaligus tradisi.

Jargon inovasi pangan yang saat ini marak tidak boleh dipahami sempit, yang ujung-ujungnya menghilangkan nilai nutrisi bahan pangan aslinya sekaligus menciptakan ‘budaya kesasar’.

Dalam perjalanan saya, ada seorang ahli gizi yang sempat mengudar-rasa, ia mengungkapkan kekhawatirannya dengan kalimat yang cukup mengejutkan – yang disebutnya sebagai ‘tiga cara memusnahkan suatu bangsa’: Pertama, hapuskan pangan lokalnya. Kedua, singkirkan bahasanya. Ketiga, lunturkan budayanya.

Ia membuat saya tercenung lama. Bukankah ketiganya pelan-pelan sudah terjadi di negri ini?

Makanan Pendamping ASI kita sudah lama berbau kebarat-baratan. Aneka kudapan berbau asing bersliweran di media sosial. Mulai dari nugget, dimsum hingga pancake.

Mana ada lagi ibu-ibu muda membuat lemper, serabi, dan talam? Apalagi mengenal kudapan ‘mento’ seperti yang kami buat di Kalibawang – seperti yang saya ulas di awal tulisan ini. Belum lagi, minyak kelapa telah digeser minyak zaitun dan kanola – yang bahannya saja bukan dari negri ini.

Dari nama makanan, jelas masalah bahasa sudah jadi krisis. Apalagi bahasa yang digunakan sehari-hari. Banyak keluarga muda merasa lebih ‘punya status’, jika anaknya bisa berbahasa asing cas-cis-cus.

Semakin banyak juga mahasiswa saya kesulitan menulis esai dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Bahkan dalam diskusi saat kuliah, ada beberapa mahasiswa yang berlogat aneh seakan dia lebih fasih berbahasa Inggris.

Dan akhirnya krisis budaya menjadi ancaman terakhir. Ritual tradisional hanya muncul sebatas ‘keseruan acara’, mulai dari perkawinan hingga ikut-ikutan upacara turun tanah anak bayi. Padahal, di luar itu mereka merayakan baby shower hingga Halloween yang tak jelas asal usulnya.

Dan satu-dua tahun belakangan ini ada tambahan ‘hari raya baru’, ramai-ramai mengutip istilah boxing day, demi harga diskon belanja di bulan Desember. Sekali lagi: tanpa paham makna apalagi kaitannya.

Indonesia adalah negara besar dengan potensi akbar di segala bidang. Artinya, kekuatan ini harus dipertahankan dan ditegakkan tanpa perlu ‘terlalu lentur’, yang membuat karakter kebangsaan jadi kabur.

Besarnya pengaruh kepala dusun, kepala puskesmas hingga kepala daerah merupakan kekuatan inti bangsa mengentaskan kemiskinan literasi gizi.

Dimulai dari kesadaran membangun masyarakat bergizi yang bebas kepentingan, saya yakin banyak masalah akan tertanggulangi tanpa banyak pusing, apalagi upaya pontang-panting.

Sebab kuncinya satu: gizi yang baik menciptakan generasi tanpa stunting, cerdas berdaya saing!

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

error: Content is protected !!