korannews.com – Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid mengatakan bahwa arsip atau rekaman peristiwa masa lalu dapat membantu masyarakat memahami dinamika sejarah jauh lebih baik dibandingkan hanya mengandalkan laporan-laporan formal.
“Mungkin banyak tersedia arsip-arsip yang sifatnya formal dari pemerintah dan laporan macam-macam. Tapi bahan seperti ini yang sebetulnya membuat kita bisa memahami dinamika sejarah itu jauh lebih baik. Laporan formal kadang tidak mencerminkan dinamika dalam kehidupan itu,” kata Hilmar dalam pembukaan pameran arsip dan diskusi publik “Membaca Sodjatmoko dari Rumah dan Ingatan” di Jakarta, Senin.
Menurut Hilmar, perhatian terhadap rekaman peristiwa di masa lalu tentu dapat berbeda dari generasi ke generasi. Misalnya, apa yang terjadi pada 20 tahun yang lalu mungkin sudah dianggap tidak penting bagi orang-orang di zaman sekarang.
Meski demikian, lanjut dia, kebanyakan orang lupa bahwa rekaman tersebut bisa jadi memiliki arti penting bagi orang lain. Sehingga menurutnya, kesadaran untuk mengarsipkan peristiwa masa lalu merupakan hal yang sangat baik.
Untuk itu, Hilmar pun mengaku senang sebab keluarga Soedjatmoko telah memutuskan untuk mengumpulkan arsip berupa dokumen, foto, hingga surat atau korespondensi milik sang intelektual Tanah Air itu. Arsip-arsip tersebut disajikan melalui laman www.membacasoedjatmoko.com serta dalam pameran yang diselenggarakan pada 10-14 Januari 2023 di kediaman Soedjatmoko di Menteng, Jakarta Pusat.
“Saya kira, arsip dari keluarga ini akan menjadi kontribusi yang luar biasa, bukan hanya mengenai periode sejarah itu sendiri tapi juga berbagai isu yang sekarang penting,” ujar Hilmar.
Menurut Hilmar, Soedjatmoko yang akrab dengan sapaan Bung Koko itu merupakan sosok yang sangat istimewa. Sebab, Soedjatmoko bukan orang yang dididik dalam bidang sejarah, namun ketika tahun 1960-an saat ia membuat esai tentang penulisan sejarah, hal itu menjadi awal dari pemikiran mengenai bagaimana sejarah akademik seharusnya berkembang di Indonesia.
“Tidak lama kemudian bikin satu kumpulan, An Introduction to Indonesian Historiography, dan itu mengumpulkan otoritas di bidang sejarah di seluruh dunia. Dan usaha seperti itu bahkan tidak pernah diulang sampai sekarang,” tambah Hilmar.
Ia melanjutkan, Soedjatmoko memiliki ambisi untuk membedakan diri dari dua hal yakni sejarah kolonial yang narasinya fokus menempatkan Belanda sebagai pelaku utama, dan sejarah nasionalis yang kerap menggunakan pengetahuan tentang masa lalu untuk retorika masa kini.
“Keperluannya adalah menyusun satu sejarah yang lebih dekat dengan ilmu sosial. Lalu kenapa dia harus bersusah payah? Tujuannya akan kita lihat jelas dalam buku-buku tahun 1970 atau 1980-an. Semua esainya bicara mengenai tujuan pembangunan sesungguhnya,” kata Hilmar.
Ia menjelaskan, Soedjatmoko memiliki pemikiran bahwa di dalam masyarakat perlu dibangun sebuah hasrat pembangunan dan perlunya pendidikan untuk membangkitkan keinginan untuk terlibat dalam proses pembangunan.
“Saya kira itu yang membuat arsip Soedjatmoko ini kalau seandainya makalah-makalah yang dulu diterbitkan itu dibaca dengan keperluan kita sekarang. Jadi enggak melulu berusaha merekonstruksi apa yang dikatakan dulu,” ujar Hilmar.
“Jadi saya kira arsip ini akan membuka suatu percakapan yang luar biasa,” pungkasnya.