4 Alasan Kenapa Korban KDRT Masih Mau Pertahankan Rumah Tangganya

4 Alasan Kenapa Korban KDRT Masih Mau Pertahankan Rumah Tangganya

korannews.com – Tidak semua korban kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT ) langsung mengambil keputusan untuk cerai setelah disakiti.

Pasalnya, tidak sedikit dari mereka yang masih mau mempertahankan bahtera rumah tangganya bahkan membuka pintu maaf seluas-luasnya.

Seperti dilakukan Lesti Kejora yang memilih mencabut laporan dugaan KDRT yang dilakukan oleh sang suami, Rizky Billar , ke Polres Metro Jakarta Selatan.

Dalam konferensi pers pada Jumat (14/10/2022), Lesti mengatakan bahwa langkah tersebut ia ambil lantaran memperhatikan kondisi anak.

Ia juga mengakui alasan mencabut laporan dugaan KDRT karena sang suami sudah mengakui kesalahannya dan meminta doa agar tidak cerai.

Alasan korban KDRT pertahankan rumah tangganya

Lesti hanyalah satu dari sekian korban KDRT yang masih optimis mempertahankan rumah tangganya kendati mengalami penganiayaan.

Walau KDRT meninggalkan bekas luka fisik dan batin, kenapa sih korban tidak mau cerai dari pasangan hidupnya? Berikut jawaban pakar.

1. Pengasuhan anak dan keuangan

Menurut dosen asal Sheffield University, Michaela Rogers, ada dua alasan mengapa korban KDRT mencoba mempertahankan rumah tangganya.

Alasan pertama, korban KDRT yang sudah memiliki anak mengalami hambatan psikologis untuk mengakhiri hubungan karena pertimbangan anak.

Selain itu, faktor ekonomi sering membuat korban tidak pede apabila diharuskan mengatur keuangan dan menghidupi dirinya sendiri dan si kecil.

Pasangan yang menjadi korban KDRT juga merasa bersalah apabila menjauhkan anak dari kehidupan sebelumnya, seperti jauh dari hewan peliharaan, rumah, dan sekolah.

Korban KDRT juga merasa khawatir jikalau memindahkan anak dari keluarga dan teman-temannya.

Dalam hal ini, korban KDRT kemungkinan menghadapi situasi sulit karena biaya tempat tinggal, pendidikan, termasuk akses transportasi.

2. Masih cinta

Jangankan sejoli yang enggan putus meski hubungan mereka toxic, korban KDRT pun juga bisa balikan dengan pelaku karena masih merasa cinta.

Bisa dibilang, cinta adalah alasan yang kuat mengapa mereka tetap mempertahankan rumah tangganya.

Cinta membuat pasangan yang dianiaya setelah menikah tetap kembali ke pelukan pelaku KDRT kendati pernah dianiaya.

Walau sulit dipahami, penelitian menunjukkan korban KDRT menjadi frustrasi karena cinta, perhatian, dan kepeduliannya terhadap pelaku.

Hal tersebut membuat mereka terjerat dengan pasangan hidup yang pernah melakukan kekerasan dalam rumah tangga.

Di sisi lain, penelitian yang dipublikasikan di Journal of Interpersonal Violence mendapati temuan menarik.

Penelitian mengatakan bahwa kemauan korban KDRT untuk memaafkan berasal dari keinginannya untuk mempertahankan rumah tangga.

Rumah tangga dipandang korban KDRT sebagai tujuan hidup mereka bahkan mereka berani mengorbankan keselamatannya sendiri.

Meski terbuka ruang maaf dari korban KDRT, sayangnya pelaku KDRT memanfaatkan perasaan peduli dan perhatian korbannya.

Mereka memanfaatkan itu untuk mencegah korban KDRT pergi, bahkan mengancam untuk menyakiti atau bunuh diri jika mereka melakukannya.

3. Stigma dan rasa malu

Tak bisa dimungkiri bahwa kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga di setiap masyarakat berkaitan dengan budaya.

Banyak korban KDRT merasa malu karena mengalami penganiayaan menurut peneliti asal University of Bristol, Alison Gregory.

Ia menjelaskan bahwa korban KDRT kemungkinan merasa takut bahwa keputusan cerai menyulut komentar miring dari orang lain.

Kekhawatiran itu dapat mengalahkan realita yang sebenarnya bahwa merekalah yang sebenarnya disakiti.

Di sisi lain, korban KDRT tidak ingin mengecewakan orangtuanya apabila mengambil keputusan untuk cerai.

Sama halnya, mengakhiri rumah tangga yang tidak sehat berarti korban KDRT dihadapkan dengan pengalaman mereka sendiri.

Mereka kemungkinan merasa takut harus merasakan pengalaman seperti itu.

4. Rasa takut

Dosen asal University of London, Cassandra Wiener, menyampaikan bahwa pelaku KDRT dapat memberikan ancaman kepada korbannya.

Seperti mengancam membatasi kesempatan korban KDRT untuk bertemu anak, teman, kendaraan, dan masalah keuangan.

Hal tersebut sengaja dapat dilakukan oleh pelaku KDRT untuk mempersulit bahkan mengisolasi korbannya.

Mereka yang dirugikan dengan KDRT dapat merasakan kecemasan yang disebut psikolog sebagai state of siege.

Kondisi itu membuat korban KDRT tidak mampu menunjukkan perilaku untuk menghindari hal yang tidak diinginkan.

Penelitian yang dipublikasikan di Journal of Policy and Practice juga mendapati temuan bahwa mengakhiri rumah tangga bisa jadi berbahaya.

Pasalnya, kontrol yang dirasakan korban KDRT dapat berlanjut setelah rumah tangga kandas.

Tidak menutup kemungkinan ada upaya penekanan untuk merugikan korban KDRT yang memutuskan meninggalkan rumah tangga.

Anak Jadi Alasan Lesti Kejora Cabut Laporan KDRT

Exit mobile version