Perubahan PP 109/2012 Dinilai Tak Melindungi Kelangsungan IHT

Perubahan PP 109/2012 Dinilai Tak Melindungi Kelangsungan IHT

Perubahan PP 109/2012 Dinilai Tak Melindungi Kelangsungan IHT

Jakarta: Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Henry Najoan memohon kepada Presiden Joko Widodo untuk melindungi kelangsungan usaha industri hasil tembakau (IHT) legal nasional yang telah berkontribusi nyata bagi penerimaan negara dan serapan tenaga kerja (padat karya).
 
Hal ini sejalan dengan arahan Presiden Jokowi yang berkomitmen memastikan proses reformasi struktur ekonomi dan perbaikan iklim usaha dengan meletakkan dasar-dasar baru bagi pertumbuhan yang lebih kuat dan berkelanjutan, salah satunya memberikan kepastian hukum.
 
Ia menyebut, upaya Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) yang menggelar uji publik terkait Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan terkesan dipaksakan.





Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


“Gappri dengan tegas menolak perubahan PP 109/2012. Pasalnya, kami melihat PP 109/2012 yang ada saat ini masih relevan untuk diterapkan,” kata dia dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 28 Juli 2022.
 
Henry beralasan, jika tujuan perubahan PP 109/2012 untuk menurunkan prevalensi perokok pada anak dan remaja dengan indikator prevalensi, seharusnya tidak perlu dilakukan. Hal ini lantaran data resmi pemerintah menunjukkan angka prevalensi sudah turun jauh bahkan sudah turun dari target pada 2024.
 

Henry menyebutkan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) KOR yang menyatakan prevalensi perokok anak terus menurun. Dari 9,1 persen pada 2018, turun menjadi 3,87 persen pada 2019, kemudian turun lagi pada 2020 menjadi 3,81 persen, bahkan tinggal 3,69 persen pada 2021.
 
Selain itu, dokumen resmi pemerintah Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) Tahun 2023 menyatakan, indikator kesehatan persentase merokok penduduk usia 10-18 tahun turun. Pada 2013 jumlahnya sebesar 7,2 persen, kemudian turun menjadi 3,8 persen 2020.
 
“Argumentasi untuk menurunkan prevalensi jumlah perokok pemula tidak memiliki dasar yang valid karena tanpa adanya revisi PP 109/2012, prevalensi perokok anak telah mengalami penurunan sebagaimana data resmi pemerintah di atas. Menurut hemat kami, pengendalian yang dilakukan pemerintah telah berjalan dengan baik sehingga belum diperlukan perubahan PP 109/2012,” ungkapnya.

Dampak draf perubahan terhadap iklim usaha IHT

Gappri juga menyoroti isi draf perubahan PP 109/2012 yang cenderung pelarangan. Hal itu justru semakin restriktif terhadap kelangsungan iklim usaha IHT di Tanah Air. Apalagi jika  mengacu ketentuan perundang-undangan, seharusnya titik tekanannya pada pengendalian, tetapi draf yang kami terima justru banyak yang bentuknya pelarangan.
 
Lantas, Henry membeberkan pasal-pasal dalam draf RPP yang mengganggu kelangsungan IHT, yakni Pasal 24, Pasal 25e, Pasal 25f, Pasal  27, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 40. Pasal-pasal tersebut mengatur larangan Iklan, Promosi dan Sponsor Produk Tembakau, Larangan Penjualan Rokok Batangan, dan Pengawasan yang diskriminatif dan tidak mengedepankan edukasi.
 
“Merujuk Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 71/PUU-XI/2013 atas Iklan dan Promosi Rokok dan Putusan MK No. 6/PUU-VII/2009 atas Perkara Permohonan Pengujian UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran memutuskan bahwa rokok adalah produk legal yang memiliki hak untuk berkomunikasi dengan konsumen dewasa melalui media iklan dan promosi,” jelas dia.
 
Gappri juga mengkhawatirkan pengaturan peringatan kesehatan bergambar (PHW) sebesar 90 persen yang dinilai berpotensi menimbulkan rokok ilegal dan rokok palsu. Henry menambahkan, kecilnya ruang untuk merek juga menyulitkan konsumen untuk mengenali produk.
 
Apabila diberlakukan, perbesaran peringatan justru bertentangan dengan hak konsumen sebagaimana Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 4 bahwa hak atas kenyamanan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa.
 
“Ketentuan tersebut juga mengabaikan merek dagang sebagaimana Undang Undang Merek Nomor 20 Tahun 2016 tentang Hak Kekayaan Intelektual, mengingat merek menjadi penting untuk menjaga persaingan usaha yang sehat. Dalam pandangan kami, saat ini dengan peringatan kesehatan bergambar (PHW) sebesar 40 persen merupakan jalan tengah yang mengakomodasi semua pihak, yakni pemerintah, pelaku usaha maupun antitembakau,” pungkasnya.
 

(AHL)

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.

Exit mobile version