Jika melihat perkembangan ekonomi baru, terdapat restrukturisasi besar-besaran dalam cara orang berbisnis, baik pada operasional, keuangan, servis, dan sebagainya, yang mengakibatkan terbentuknya bisnis baru.
Hal tersebut disampaikan oleh Roy Sembel, Profesor of Finance Management dari IPMI Business School. Menurut Roy, faktor yang mendukung ekonomi baru adalah adanya penurunan biaya yang signifikan, baik biaya transformasi dari bahan baku ke bahan jadi maupun biaya interaksi.
“Biaya interaksi inilah yang kemudian terkait dengan digital payment system,” ujarnya dalam acara Webinar Business Operations Enablement Through the Use of Integrated Payment Solution yang diselenggarakan SWA bersama Xendit.
Terkait pembayaran digital ini, ia menyoroti pada dua tahun terakhir bahwa Indonesia punya peluang sangat besar. Indonesia memiliki populasi keempat terbesar di dunia dengan pertumbuhan kelas menengah, peringkat GDP ke-16, dan ke-7 dalam purchasing power parity adjust. Ditambah lagi, mobile connection di Indonesia sudah di atas 370 juta.
Adopsi pembayaran digital di Indonesia selama tahun belakangan ini juga meningkat yang disebabkan oleh adanya pembatasan sosial yang membuat masyarakat makin mengandalkan online services untuk kebutuhan sehari-hari.
Menurut data Visa Back to Business Research, 78% konsumer global mengubah metode pembayarannya pada masa lockdown. Pertumbuhan e-commerce global mencapai US$1,6 triliun transaksi. Masyarakat dan bisnis di dunia semakin dimungkinkan untuk mengakses ekonomi digital.
“Namun kalau dilihat, e-commerce spending di Indonesia masih minim, berarti masih perlu didorong lebih lanjut,” ucapnya.
Selain itu berbagai guncangan terhadap ekonomi seperti VUCA, disrupsi digital, kemajuan teknologi, serta dampak krisis pada energi dan komoditas yang berpengaruh signifikan terhadap GDP dan inflasi, semakin menuntut efisiensi ekonomi. “Maka salah satu (efisiensi) bisa dengan digital payment system, setidaknya bisa meredam sebagian dari inflasi,” ujar Roy.
Di sisi lain, lanjutnya, tantangan yang muncul adalah terkait keamanan (hacking, fraud, dan theft) dan digital inequality. “Terkait digital inequality, kalau mobile connection di Indonesia sudah di atas 370 juta, seharusnya ini bisa didorong,” tuturnya.
Maka, menurut hematnya, apabila dilihat prospek pemulihan pada 2022 dan seterusnya, Indonesia mempunyai peluang digital payment yang semakin dibutuhkan.
Lalu apa yang sebaiknya dilakukan dalam menyikapinya? Roy mengatakan setidaknya ada empat hal yang perlu diperhatikan. Pertama, perusahaan payment perlu menyediakan payment solution melalui perangkat yang terhubung ke internet.
Kedua, perusahaan fintech perlu terus meningkatkan digital payments landscape. Ketiga, keuangan terdesentralisasi yang didukung blockchain, agar memungkinkan verifikasi instan untuk transaksi tanpa harus bergantung pada otoritas central, dan transaksi yang lebih aman serta risiko fraud yang lebih rendah.
Keempat, bagi para perusahaan bisnis, agar mengambil langkah untuk mencegah fraud dan melakukan edukasi kepada konsumen tentang beberapa cara untuk menghindari online payment scams.
“Intinya adalah meningkatkan kebutuhan untuk proses otentikasi tingkat lanjut, mulai dari password, biometric systems sebagai proses verifikasi sekunder seperti eye scan atau face recognition,” tegasnya.
Menurutnya, digital payment akan menjadi new normal. Maka kuncinya, kata Roy, semua harus bekerja bersama-sama. Perlu ada kolaborasi dan harmonisasi di antara pemangku kepentingan di dalam ekosistem digital payment. Tidak ketinggalan, harus ada capacity building pada SDM, baik di penyedia jasa, perusahaan, dan konsumen.
“Sekarang ini adalah eranya kolaborasi, tidak bisa bergerak silo. Harus mengubah ‘saya’ menjadi ‘kita’, jangan hanya competition tetapi juga harus coopetition,” tandasnya.
Editor : Eva Martha Rahayu
Swa.co.id
Artikel ini bersumber dari swa.co.id.