korannews.com – Amerika Serikat (AS) terancam default atau gagal bayar pada 1 Juni 2023. Pasalnya, pembicaraan ‘debt ceiling’ atau pagu utang AS antara Gedung Putih dan oposisi Partai Republik masih belum menemukan jalan keluar.
Bila gagal bayar, hal itu dikhawatirkan akan memicu gangguan ekonomi besar-besaran di AS dan kemungkinan besar di seluruh dunia. Penyebabnya adalah borrowing cost atau biaya pembiayaan serta suku bunga pinjaman akan meningkat cukup tajam. Ini dapat berimplikasi pada perbankan global, termasuk Indonesia.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai ada imbas positif dan negatif. Buntut bila AS gagal bayar utang adalah masyarakat atau investor akan mencari aset-aset yang lebih aman. Alhasil bank sentral AS Federal Reserve (The Fed) harus kembali meningkatkan suku bunga acuan.
Dia menyebut, dalam situasi ini, kemungkinan suku bunga AS akan naik 50–75 basis poin (bps). “Dan itu implikasinya cukup serius juga, ya. Bayangkan kalau misalnya suku bunga di Indonesia naik sampai 75 basis poin lagi. Sementara dua tahun terakhir sudah terjadi kenaikan suku bunga yang cukup agresif. Nah, itu imbasnya nanti ya, siapa yang akan minjem uang di perbankan kalau bunganya terlalu tinggi?” ujar Bhima saat dihubungi CNBC Indonesia, Selasa (23/5/2023).
Dalam situasi itu, penyaluran kredit perbankan akan terhambat. Kemudian, rasio risiko kredit bermasalah juga terancam naik.
Selain itu, efek sistemik lainnya, bank yang deposannya mengadalkan aliran investasi luar negeri akan terancam kekeringan likuiditas. Semua aset di luar negeri pun akan mengalami lonjakan bunga untuk mempertahankan agar investor tidak lari ke tempat lain.
Efeknya juga akan berimplikasi kepada surat utang yang diterbitkan oleh perbankan dan juga bunga deposito itu juga akan disesuaikan. Sementara itu, borrowing cost seperti yang dijelaskan sebelumnya akan lebih mahal.
Bhima mengatakan, dampak lain adalah mungkin akan lebih parah dari subprime mortgate crisis tahun 2007-2010 di Amerika yang menyebabkan gagal bayar sistemik di perbankan pada tahun 2008. Sebagaimana diketahui, hal itu juga memicu krisis ekonomi global 2007-2008.
Sementara itu, Kiswoyo Adi Joe, Head of Investment PT Reswaya Gian Investa memandang bahwa gagal bayar AS tidak akan berdampak pada industri perbankan Indonesia. Ia menilai gagal bayar sudah menjadi ‘rutinitas tahunan’ di negeri Paman Sam itu.
“Jadi, harusnya kita nggak kaget. Perbankan kita di sini sehat semunya,” katanya saat dihubungi CNBC Indonesia, Selasa (23/5/2023).
Ia merujuk pada margin bunga bersih atau net interest margin (NIM) bank-bank di Indonesia yang tinggi. Menurut catatan LPS, NIM perbankan di akhir 2022 mencapai 4,68%.
Dengan tingkat NIM yang tinggi, lantas kata Kiswoyo, keuntungan bank juga besar.
Selain itu, ia menyebut rasio kecukupan modal (CAR) perbankan Indonesia juga tinggi, melebihi standar internasional basel III, yakni 8%. Menurut BI, CAR perbankan di Indonesia mencapai 25,88% pada Januari 2023.
Dilihat dari pergerakan saham perbankan, dari respon pelaku pasar dari minat investasi sahamnya, saham perbankan saat ini masih melanjutkan penguatan. Maka, analis selaku pendiri WH Project William Hartanto menilai dampak kegagalan bayar AS tidak signifikan pada saham perbankan RI.
Menurutnya, jika AS default, ada potensi kejatuhan mata uang dollar AS, yang mana justru relatif menguntungkan untuk Indonesia.
“Jadi kalau saya menilai dari pergerakan di market, sepertinya sentimen default ini malah menguntungkan dan membuka peluang untuk berakhiran kenaikan suku bunga,” ujarnya saat dihubungi CNBC Indonesia, Selasa (23/5/2023).