Lebih lanjut, MPI menyampaikan, BRIN telah mendapatkan persetujuan Komisi VII DPR dalam rapat dengar pendapat pada 27 September 2021 untuk mendapatkan pengalihan anggaran dari unit/badan litbang kementerian/lembaga sebesar kurang lebih Rp4 triliun. Apabila relokasi anggaran ini dapat dieksekusi, maka anggaran BRIN menjadi Rp10 triliun.
Namun, lanjutnya, sampai saat ini persetujuan realokasi anggaran tersebut belum dapat dieksekusi oleh BRIN sehingga anggaran BRIN tetap Rp6,1 triliun. Bahkan, nilai anggaran BRIN berkurang menjadi Rp5,8 triliun dikarenakan adanya kebijakan automatic adjustment.
“Belum bisa dieksekusinya persetujuan realokasi anggaran Rp4 triliun tersebut karena BRIN belum menyelesaikan tahapan-tahapan yang dibutuhkan untuk eksekusi realokasi anggaran tersebut, di antaranya adalah penyesuaian program-program riset dan inovasi di BRIN,” terang MPI.
Di lain sisi, MPI mengungkapkan, BRIN melakukan pengalihan Sumber Daya Manusia (SDM) dan Sumber Daya Fasilitas (SDF) dari unit litbang K/L ke dalam BRIN. Gagalnya eksekusi realokasi anggaran serta langkah pengalihan pegawai dan fasilitas dinilai merugikan ekosistem riset dan inovasi nasional.
MPI menyebut, BRIN tidak dapat memanfaatkan SDM dan SDF hasil limpahan litbang K/L secara efektif dan optimal. Hal ini disebabkan BRIN tidak memperoleh dukungan anggaran yang semestinya didapatkan dari limpahan anggaran riset litbang K/L.
“Litbang K/L tidak dapat memanfaatkan anggaran riset yang belum dialihkan ke BRIN secara efektif dan optimal, karena hilangnya dukungan SDM dan SDF yang telah dialihkan ke BRIN,” jelasnya.
Selain itu, MPI menambahkan, BRIN belum memiliki rencana strategis (Renstra) lembaga yang sah sesuai amanat Undang-Undang 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Menurut MPI, kondisi tersebut dapat mengancam langkah-langkah pemajuan Iptek dan Inovasi sesuai dengan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
“Sesuai dengan UU 25 Tahun 2004, Rencana Kerja Tahunan berpedoman pada Rencana Strategis yang sah tersebut. Rencana kerja tersebut semestinya menjadi pedoman dalam penyusunan anggaran lembaga yang dibahas bersama dengan Bappenas,” ungkap mereka.
MPI menyebut, Kepala BRIN telah mengeluarkan Rencana Kerja 2022 melalui Keputusan Kepala Nomor 5/HK/2022, yang menurut UU 25 Tahun 2004 seharusnya berpedoman pada rencana strategis yang sah. Namun, rencana kerja tahunan tersebut menjadi tidak akuntabel sebab BRIN belum memiliki rencana strategis yang sah.
“Tidak adanya renstra yang sah tersebut menjadikan kinerja atau capaian BRIN dalam melakukan riset dan inovasi tidak dapat dipertanggungjawabkan (akuntabel), yang membuat hasil-hasil belanja BRIN tidak dapat diukur manfaat dan dampaknya,” papar MPI.
Sebelumnya, Kepala BRIN Laksana Tri Handoko di Kantor Redaksi Berita Satu Media Holdings (BSMH), Kamis (11/8) mengatakan, sebelum terintegrasi di bawah BRIN, anggaran riset dan pengembangan tersebar di berbagai unit penelitian dan pengembangan (litbang) K/L, sehingga alokasi anggaran mencapai Rp26 triliun pada 2018 berasal dari APBN. Kemudian, meningkat mencapai Rp31 triliun pada 2019 dengan perincian Rp26 triliun dari pemerintah dan Rp5 triliun dari nonpemerintah.
Dilansir dari beritasatu.com, Laksana menyebut, ketika semua diintegrasikan di bawah BRIN, anggaran riset hanya membutuhkan Rp7 triliun. Dengan begitu, Laksana Tri Handoko mengklaim BRIN menghemat Rp19 triliun.
Artikel ini bersumber dari www.alinea.id.