Miris! Kenaikan Tarif Ojol Tak Selalu Diikuti Kesejahteraan Driver

Miris! Kenaikan Tarif Ojol Tak Selalu Diikuti Kesejahteraan Driver

Miris! Kenaikan Tarif Ojol Tak Selalu Diikuti Kesejahteraan Driver

Jakarta: Ekonom Universitas Airlangga (Unair) Rumayya Batubara menilai niat baik pemerintah untuk menyejahterakan pengemudi atau driver ojek online (ojol) melalui kenaikan tarif perlu diapresiasi. Namun sayangnya, kenaikan tarif ojol tidak selalu berhubungan dengan kesejahteraan driver.
 
Ia mencontohkan, ketika konsumen memilih moda transportasi lain saat tarif ojol tinggi, maka potensi pendapatan driver akan menurun. Hal itu karena karakter pengguna ojol yang sangat sensitif terhadap harga. Ketika ada perubahan harga, mereka akan mencari alternatif moda transportasi lain, atau bahkan mengurangi mobilitasnya.
 
“Misalkan jika sebelumnya bisa mendapatkan 10 penumpang, dengan adanya kenaikan ini penumpangnya jadi turun jadi tujuh atau bahkan hanya lima. Perlu diingat, jumlah driver tetap sama, tapi penumpang berkurang,” ujar Rumayya dalam keterangan resminya, dilansir Antara, Jumat, 19 Agustus 2022.





Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Dari sisi konsumen, berdasarkan studi yang dilakukan oleh Research Institute of Socio-Economic Development (RISED), lebih dari 50 persen konsumen pengguna ojol adalah masyarakat menengah bawah dan konsumen memilih menggunakan ojol karena harganya yang terjangkau.
 

Apabila kenaikan tarif ojol terlalu tinggi, hal itu bisa menjadikan ojol tidak terjangkau lagi oleh sebagian besar konsumen. Akibatnya, konsumen akan memilih opsi transportasi lain, salah satunya kendaran pribadi, yang akan menimbulkan masalah lain seperti kemacetan lalu lintas.
 
“Ketika tarif ojol naik di 2019, sebanyak 75 persen konsumen menolak kenaikan harga ojol. Persentase penolakan tersebut tergolong tinggi, meski kenaikan tarif pada saat itu tidak sebesar di 2022 ini. Tahun ini kami memang belum melakukan studi terbaru, tapi kemungkinan besar akan ada lebih dari 75 persen konsumen yang menolak, karena kenaikan tarifnya jauh lebih tinggi,” kata Rumayya, yang juga merupakan Ketua Tim Peneliti RISED.
 
Secara keseluruhan, kata Rumayya, kenaikan tarif ojol yang tinggi akan menekan daya beli masyarakat dan turut menaikkan inflasi. Terlebih saat ini pemerintah tengah berupaya untuk menekan inflasi melalui program subsidi di berbagai sektor.
 
“Kita lihat saat ini inflasi sedang tinggi. Bahkan untuk inflasi pangan tertinggi sejak 2015. Jika inflasi tinggi, maka daya beli konsumen tergerus,” ujar Rumayya.
 
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menunda pemberlakuan tarif baru ojek online (ojol) dari seharusnya 15 Agustus 2022 menjadi 30 Agustus 2022. Menurut Rumahyya, perpanjangan waktu tersebut dapat menjadi momentum bagi Kemenhub dalam menjaring masukan dari para pemangku kepentingan dalam menetapkan tarif baru ojol.
 
“Penundaan pemberlakukan ini bagus walaupun tambahannya hanya 15 hari. Sehingga ada waktu lebih panjang, untuk menghitung lagi dampaknya, dan apakah ada solusi yang lebih baik. Jika memang harus naik, maka berapa besaran tarif yang sesuai. Jadi perpanjangan waktu ini bisa digunakan untuk mencari masukan dan tambahan data agar bisa mengambil kebijakan publik lebih tepat, kami sangat dukung untuk itu,” kata Rumayya.
 

(AHL)

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!