Kini, lahan tersebut berada dalam penyitaan Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri.
Lahan kosong lainnya ada di sebelah SPBU Daan Mogot, Kalideres, Jakarta Barat. Lahan seluas 46.827 meter persegi itu milik Pemprov DKI, dengan penanda pelang di beberapa titik. Lahan tersebut berada dalam penguasaan Badan Pengelolaan Aset Daerah (BPAD) DKI serta Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman DKI.
Dahulu, lahan itu bekas pabrik keramik. Kini, menjadi tempat parkir kendaraan pengangkut sampah dan alat berat milik Dinas Lingkungan Hidup DKI.
Salah seorang petugas, Lukman, mengatakan ia dan beberapa rekannya diperintah atasan di kantornya untuk menetap di lahan kosong itu. “Karena takutnya ada orang klaim atau bangun sembarangan di sini,” ucap Lukman, Minggu (21/8).
Persoalan aset lahan milik Pemprov DKI terbilang sering terjadi karena tata kelola yang berantakan. Imbasnya, lahan itu dikuasai pihak lain, yang mengatasnamakan ahli waris atau orang yang mengklaim punya bukti kepemilikan.
Staf biro hukum DKI Jakarta, M. Tariq mengakui Pemprov DKI sering terancam kehilangan aset lahan. Padahal, ketersediaan lahan untuk menunjang pembangunan infrastruktur di Jakarta terbilang semakin sempit. Tak jarang, Pemprov DKI kalah pembuktian atas hak tanahnya sendiri karena tak bisa menunjukkan bukti sertifikat asli, ketika bersengketa di pengadilan.
“Karena penataan, tata kelola aset, dan pengarsipan yang kurang rapi,” ujar Tariq, Rabu (24/8). “Membuat aset itu kadang jadi bermasalah.”
Namun, Tariq mengatakan, BPAD Pemprov DKI sedang berupaya mengamankan aset-aset DKI, terutama yang berupa lahan dengan mendata ulang tata kelola aset agar tak menambah masalah di kemudian hari.
“Dari yang semula berantakan, mulai dirapikan. Baru pencatatan, kemudian pendokumentasian,” ucapnya.
“Karena memang pendataan ini butuh proses. Belum sepenuhnya rapi. Itu yang membuat bermasalah.”
Tariq menyebut, lahan sengketa di Cengkareng Barat merupakan aset DKI yang paling sulit diupayakan kembali. Sebab, dari 2016 hingga sekarang masih berkutat pada persoalan pembuktian kepemilikan di pengadilan.
Selain di Cengkareng Barat, ia mengatakan, banyak aset lahan DKI yang masih bersengketa. Tetapi, ia mengaku tak tahu pasti aset lahan di mana saja yang bersengketa.
“Itu kewenangan orang Badan Pengelola Aset Daerah. Kalau kami, ada masalah baru terjun,” kata Tariq.
Membenahi aset lahan DKI
Sementara anggota Komisi A DPRD DKI Gembong Warsono menilai, Pemprov DKI perlu mengamankan aset lahan yang dimilikinya untuk menyediakan lahan perumahan dan ruang terbuka hijau (RTH).
“Yang mesti dilakukan oleh pemprov, perbaikan sistem pengelolaan aset,” kata Gembong, Selasa (23/8).
Menurut Gembong, aset lahan yang dimiliki Pemprov DKI diperoleh dari pembelian, hibah, dan kewajiban pihak ketiga. Metode pencatatan aset di Jakarta, kata Gembong, perlu diperbaiki agar tak membuahkan masalah sengketa.
“Pencatatan dalam buku aset pun beraneka ragam, sesuai periode pencatatan,” katanya.
“Contoh, periode sampai tahun 1980-an, semua dicatat manual dan terkadang tak didukung bukti yang dimiliki pemprov. Di era ini, kewajiban pihak ketiga juga sangat sulit diinventarisasi karena data SIPPT (Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah) tidak dicantumkan lokasi kewajiban.”
Kewajiban pihak ketiga, menurut Gembong, masih samar-samar. Belum diatur dengan jelas pada model pencatatan lama. Akibatnya, banyak pihak ketiga yang menggunakan lahan di Jakarta—seharusnya menyediakan lahan untuk RTH—luput dari kewajiban.
Pada 2000-an, ujar Gembong, sistem pencatatan aset memang sudah semakin baik. Namun, tetap belum mampu melacak kewajiban pihak ketiga di era 1980-an dan 1990-an.
Di samping itu, Gembong melihat, pengawasan aset yang lemah di lapangan menjadi masalah pula Pemprov DKI kehilangan aset lahan. Banyak aset tanah yang dibiarkan terbengkalai, tanpa pengawasan dan tanda. Hal itu diakui juga oleh pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga.
“Di lapangan, lokasi-lokasi lahan aset Pemprov DKI yang kosong dan belum dimanfaatkan, tidak dipasang papan pengumuman yang jelas dan tegas batasnya (dengan) pagar atau tembok, dijaga satpam resmi atau Satpol PP, ujar Nirwono, Senin (22/8).
Lebih lanjut, Nirwono memandang, aset lahan di Jakarta perlu diamankan dari potensi sengketa. Karena kebutuhan lahan di Jakarta untuk keperluan RTH dan permukiman sangat mendesak. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 mengamanatkan, kebutuhan RTH di Jakarta 30% dari luas wilayah. Mengacu undang-undang tersebut, Jakarta harus menyediakan sedikitnya 198 kilometer persegi untuk dijadikan RTH.
“Badan Pengelolaan Aset Daerah (Pemprov DKI) wajib mempublikasikan bulanan dan tahunan lokasi dan kondisi lahan-lahan aset milik daerah yang clear and clean dan rencana peruntukannya, serta lahan milik Pemprov DKI yang bersengketa dan solusinya,” ujar Nirwono.
Nirwono juga menyarankan Pemprov DKI memetakan aset tanah sekaligus memberi papan pengumuman kepemilikan lahan.
“Dinas terkait yang membutuhkan lahan dapat berkoordinasi dengan Dinas Citata (Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan) dan melaporkan ke gubernur usulan pemanfaatan lahan tersebut,” tuturnya.
“Misal Dinas Pertamanan (dan Hutan Kota) untuk pembangunan taman-taman baru, Dinas Perumahan (Rakyat dan Kawasan Permukiman) untuk rusunawa (rumah susun sewa).”
Sedangkan untuk lahan kosong yang terbengkalai, tetapi bukan milik Pemprov DKI, Nirwono mengatakan, pemprov juga mesti mendata kepemilikan dan statusnya. Bila memungkinkan, dikontrak untuk RTH.
“Wajib ‘dihijaukan’ dengan ditata rapi. Diberi dua pilihan, ‘dihijaukan’ sendiri dengan biaya sendiri atau ‘dihijaukan’ oleh Dinas Pertamanan (dan Hutan Kota) dengan kompensasi dijadikan RTH publik sementara dalam jangka waktu minimal 10 tahun,” katanya.
“Dan diperpanjang lagi sampai pemilik lahan memiliki dana untuk mengembangkan lahannya, dengan kewajiban membayarkan biaya penghijauan dan pemeliharaan yang telah dikeluarkan Dinas Pertamanan (dan Hutan Kota) selama merawat lahan itu.”
Menurut Nirwono, pemilik lahan di daerah strategis perlu diberi tanggung jawab merawat lahannya agar tak menimbulkan kesan kumuh. Jika pemilik lahan di tempat strategis tak mampu mengurusnya, ia menyarankan mereka bersedia berkolaborasi dengan pemerintah untuk menyewakan lahannya dengan jangka waktu tertentu.
“Jadi intinya, pemilik lahan wajib mengurus lahannya. Jangan biarkan terbengkalai,” ucap Nirwono.
Konsep sewa lahan yang terbengkalai untuk kepentingan RTH, kata Nirwono, juga bisa diterapkan di lahan yang sedang bersengketa dan masih berproses di pengadilan. Namun, tetap harus seizin pengadilan.
“Sehingga untuk sementara dapat memberikan manfaat ekologis bagi Kota Jakarta,” ucapnya.
Akan tetapi, Nirwono berpendapat, Pemprov DKI agar fokus terlebih dahulu pada aset lahan yang terancam hilang karena tata kelola aset yang kurang baik. Alasannya, lahan itu sangat penting untuk pembangunan rusun atau rumah sakit.
“Biar tidak dikuasai orang lain, kalau enggak nanti hilang,” kata Nirwono.
Menanggapi permasalah aset lahan Pemprov DKI itu, dihubungi pada Jumat (26/8), Ketua Komisi A DPRD DKI Mujiono berencana membentuk panitia khusus (pansus) aset. Meski begitu, ia belum tahu pasti kapan pansus dibentuk.
“Ini saya update nanti. (Sekarang) on process,” ujar Mujiono.
Artikel ini bersumber dari www.alinea.id.