Sebab, kata Jazilul, basis massa Gerindra dan PKB berbeda. Selain itu, pasangan Prabowo dan Cak Imin juga dinilai perwakilan nasionalis-religius.
“Saya merasa bahwa PKB dan Gerindra ini bisa saling melengkapi, satu dari nasionalis, dua dari agamis. Basisnya juga basis yang berbeda, katakanlah Gerindra kuat di Jawa Barat, PKB kuat di Jawa Timur, pasangannya tokohnya bisa jadi tua dan muda. Prabowo katakanlah sudah sepuh, Gus Muhaimin masih muda,” ujar Jazilul dalam diskusi daring, Kamis (11/8).
“Dari latar belakangnya yang satu dari TNI yang satunya dari TNU, yang satu panglima militer, yang satu panglima santri,” imbuhnya.
Menurut dia, respons di internal pendukung PKB juga menyambut baik koalisi dengan Gerindra. Baik dari struktur partai, maupun unsur penopang dari kiai dan masyarakat NU.
“Nah ikhtiar untuk bekerja sama menggabungkan PKB dan koalisi ini mendatangkan sambutan yang bagus dari struktur partai maupun dari elemen-elemen yang menjadi penopang PKB, dari kiai, masyarakat NU, dan lain-lain,” kata Jazilul.
Lebih lanjut Dedi mengatakan, Prabowo-Muhaimin punya kans cukup besar untuk disandingkan sebagai capres dan cawapres di Pilpres 2024. Peluang itu setidaknya karena beberapa hal.
Pertama, Gerindra dan PKB tidak lagi memerlukan mitra baru koalisi yang membuat mereka harus kembali berunding soal pencapresan, terlebih Prabowo dan Muhaimin sama-sama tokoh berpengaruh dan dominan di partai masing-masing, dari sisi porsi suara.
“Prabowo dan Muhaimin saling melengkapi, menarik pemilih nasionalis dan religius utamanya kelompok NU (Nadhlatul Ulama).
Kedua, lanjut dia, Prabowo memerlukan sosok yang memang belum pernah diuji, dan Muhaimin menjadi sosok baru itu. Sebab, kata Dedi, Prabowo sebelumnya gagal dengan politisi, lalu birokrat kum politisi, kemudian terakhir dengan Sandiaga Uno dari kalangan korporat.
“Maka Muhaimin mewakili pasangan baru Prabowo, yakni kelompok nahdliyin,” tegas dia.
Meski elektabilitas Cak Imin terbilang rendah, menurut Dedi, hal itu bukan berarti keduanya tidak berpeluang menang di Pilpres 2024. Alasannya, kata Dedi, proses pemenangan tidak melulu soal elektabilitas pra-pilpres, tetapi ada instrumen lain yakni konsolidasi mesin parpol, termasuk pengondisian pemilih oleh jaringan relawan.
“Sehingga pemilih tidak semuanya didasari soal tokoh yang dipilih, tetapi ada alternatif kain yakni soal mobilisasi,” katanya.
Artikel ini bersumber dari www.alinea.id.