Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak Kejaksaan Agung untuk membenahi proses penyidikan pelanggaran HAM berat termasuk yang sudah dilimpahkan ke pengadilan yakni Peristiwa Paniai 7-8 Desember 2014. Desakan ini disampaikan sesuai tema Hari Adhyaksa 2022 yakni Kepastian Hukum, Humanis Menuju Pemulihan Ekonomi Nasional.
Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti mengatakan, kualitas penyidikan peristiwa Paniai dipandang buruk dan ditandai dengan sejumlah kejanggalan. Setidaknya, ada tiga poin kejanggalan yang dipaparkan.
“KontraS menyesalkan abainya Kejaksaan Agung untuk tidak menindaklanjuti sejumlah catatan publik utamanya para penyintas dan keluarga korban Peristiwa Paniai,” kata Fatia dalam keterangan, Jumat (22/7).
KontraS melakukan audiensi dengan Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (KKRI) pada 21 Juli 2022 untuk melaporkan berbagai kejanggalan dalam proses penting penegakan keadilan dan Hak Asasi Manusia ini. KKRI menyampaikan komitmen untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja Kejaksaan Agung yang vital peranannya dalam proses Pengadilan HAM.
“Permintaan audiensi juga sudah kami layangkan ke pihak Kejaksaan Agung, namun tidak ada tanggapan sampai siaran pers ini diterbitkan,” ujarnya.
Fatia menyebut, Kejaksaan Agung hanya menetapkan satu orang terdakwa tunggal atas nama IS padahal Komnas HAM sebagai penyelidik telah menyebutkan beberapa kategori pelaku yang perlu diusut. Para pelaku itu adalah Komando Pembuat Kebijakan, Komando Efektif di Lapangan, Pelaku Lapangan, dan Pelaku Pembiaran.
Terlebih, penggunaan pasal mengenai unsur rantai komando pada Pasal 42 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM untuk kejahatan kemanusiaan dalam perbuatan pembunuhan dan penganiayaan pada 9 huruf a Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 dalam Dakwaan yang dilansir Kejaksaan Agung, namun hanya mengungkap satu terdakwa. Baginya hal itu adalah bentuk ketidakmampuan sekaligus ketidakmauan untuk mengusut tuntas dengan membawa siapapun aktor yang terlibat dalam peristiwa tersebut.
“Terdakwa IS hanya dijadikan “kambing hitam” dan Pengadilan HAM atas Peristiwa Paniai hanya diproyeksikan sebagai bahan pencitraan Pemerintahan Presiden Joko Widodo yang belum melaksanakan janji dan tanggung jawabnya menuntaskan pelanggaran HAM berat di Indonesia,” ucapnya.
Artikel ini bersumber dari www.alinea.id.