korannews.com – Kementerian Keuangan ( Kemenkeu ) mendorong adanya payung hukum setingkat undang-undang (UU) yang khusus mengatur profesi penilai. Hal ini dibutuhkan karena penilai memiliki peran strategis untuk memberikan opini nilai yang menjadi acuan dalam kegiatan transaksi jual beli aset.
Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu Rionald Silaban mengatakan, mengingat besarnya peran penilai maka pihaknya akan mengupayakan untuk diatur dalam UU. Pengaturan ini akan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap profesi penilai dan opini nilai yang dihasilkan.
“Penilaian ini menjadi penting, sehingga kami akan mendorong supaya profesi penilai ini memiliki UU. Itu yang akan kami usahakan. Tentu kami akan mengikuti aturan dan prosesnya, karena ini harus masuk di program legislasi nasional,” ujar dia dalam media briefing, Jumat (14/10/2022).
Sementara itu, Direktur Penilaian Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kemenkeu Arik Hariyono menjelaskan, terdapat sejumlah urgensi untuk adanya UU terkait profesi penilai. Di antaranya, untuk mendukung pembentukan pusat data transaksi properti dan untuk mendukung optimalisasi penerimaan negara.
Selain itu, untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi masyarakat. Serta untuk mendukung upaya pencegahan krisis ekonomi, sebab transaksi keuangan dengan underlying asset dapat menunjukan nilai sebenarnya dan mengurangi kredit bermasalah.
“Dengan adanya peraturan akan menjadi lebih jelas dan transparan. Jadi adanya UU tidak hanya berpihak kepada kepentingan penilai saja, tetapi juga terhadap masyarakat,” kata Arik.
Ia mengungkapkan, hingga saat ini total jumlah penilai di Indonesia mencapai 1.579 orang. Jumlah itu terdiri dari 521 penilai Direktorat Jenderal Pajak (DJP), 276 penilai DJKN, 26 penilai pemerintah daerah (pemda), dan 782 penilai publik.
Penilai berperan strategis dalam proses pengelolaan aset secara optimal dengan penyediaan opini nilai yang selanjutnya menjadi acuan dalam kegiatan transaksi jual beli aset. Selain itu, penilai mendukung penyajian neraca dalam nilai wajar sehingga mendukung tata kelola yang baik bagi institusi pemerintah maupun privat.
Penilai juga dapat berperan dalam mendukung optimalisasi aset idle atau aset strategis, misalnya dalam hal penyediaan infrastruktur yang dengan mekanisme kerja sama antara pemerintah dengan swasta. Pada perbankan, opini nilai atas aset agunan kreditur bisa menjadi pertimbangan untuk pemberian plafon pinjaman sehingga memitigasi kredit macet.
Berdasarkan hal itu, profesi penilai mempunyai peran imparsial untuk menjaga keberlanjutan pembangunan dengan tetap menjunjung hak setiap orang atas harta bendanya.
Namun, jika dibandingkan dengan profesi yang mendukung perbankan dan pasar modal, seperti advokat, notaris, akuntan, dan keinsinyuran yang usah diatur dalam UU khusus, hanya profesi penilai masih diatur secara parsial dalam beberapa UU.
Padahal di regional Asia Tenggara, beberapa negara tetangga sudah memiliki UU penilai, seperti Malaysia, Singapura, dan Vietnam. Oleh karena itu, Arik menekankan, perlunya Indonesia untuk memiliki UU yang mengatur mengenai profesi penilai.
“Keberadaan profesi penilai diperlukan. Maka pembentukan UU penilai menjadi suatu urgensi untuk dapat segera diwujudkan untuk pengelolaan kekayaan Indonesia bagi sebesar besar kemakmuran rakyat,” tutupnya.