INDEF beri masukan atasi masalah ekonomi kepada Jokowi

INDEF beri masukan atasi masalah ekonomi kepada Jokowi

INDEF beri masukan atasi masalah ekonomi kepada Jokowi

Didik berpandangan, tekanan APBN setidaknya berasal dari dua hal, yaitu subsidi yang sangat besar terutama energi karena naiknya harga-harga dan tekanan membayar utang. Ia melihat Presiden Jokowi terkenal berani mengambil kebijakan ekonomi dan keputusan rasional yang obyektif untuk solusi bangsa, meskipun sering menuai kontroversi bagi publik. Di awal pemerintahannya, Jokowi tegas mengambil keputusan mengurangi subsidi cukup besar, tetapi memberikan subsidi langsung untuk rakyat miskin.

Berbeda hari sebelumnya, Didik menyebut saat ini Jokowi justru terlihat gagap dalam mengambil keputusan.

“Tetapi Presiden pada saat ini seperti gagap untuk mengambil keputusan mengurangi subsidi besar Rp500 triliun. Jumlah subsidi ini sama besarnya dengan anggaran pemerintah SBY dengan kurs rupiah relatif tidak berbeda jauh,” katanya.

Ia juga melihat tim ekonomi presiden tidak juga memberikan masukan yang benar terhadap masalah ini, sehingga Didik memprediksi APBN pascapemerintahan sekarang akan rusak berat.

Pada 2023 pemerintah dan DPR harus mengembalikan defisit di bawah 3% sesuai undang-undang yang dibuatnya. Jika rencana tahun depan masuk ke dalam desifit di bawah 3% gagal, maka ini menjadi pelanggaran konstitusi yang serius bagi pemerintah. Selain itu, bisa jadi sesuai karakter DPR yang sekarang akan main-main dengan konstitusi, mengubah lagi target defisit tersebut di atas 3% lagi.

“Kemungkinan yang kedua ini bisa terjadi karena karakter kolektif kebiasaan DPR dan pemerintah mempermainkan APBN dan konstitusi itu sendiri. Pelanggaran serius seperti defisit besar yang membahayakan ekonomi negara bisa saja dibuat main-main karena ketiadaan pemikiran kritis dan minus check and balances yang memadai dari sistem demokrasi kita,” ujar Didik.

Selanjutnya, Didik mengatakan agar Jokowi saat ini harus melakukan peninjauan khas miliknya atau blusukan ke sektor industri kecil dan besar.

“Jika presiden dikenal sebagai kepala negara yang sangat dikenal dan rajin blusukan ke pasar, gorong-gorong, dan sebagainya, maka yang harus dilakukan kelanjutannya adalah blusukan ke sektor-sektor industri kecil dan besar. Di sektor yang menjadi tulang punggung ekonomi ini sekarang rendah dan menyebabkan pertumbuhan ekonomi stagnan di sekitar dan di bawah 5 persen,” tulisnya.

Menurutnya, sektor industri adalah tulang punggung pertumbuhan tinggi ekonomi yang pernah terjadi di dekade 1980-an dan 1990-an. Saat itu ekonomi tumbuh di kisaran 7-8%, pertumbuhan industri juga meningkat hingga 12%. Bahkan, pertumbuhan ekspor waktu itu tercatat naik hingga 20-24%.

“Berbeda dengan durian runtuh, ekspor naik satu tahun terakhir ini, yang akan lenyap kembali tahun berikutnya,” kata Didik.

Sekarang pemerintah gencar melakukan hilirisasi industri dari banyak sumber daya alam, seperti nikel, batu bara, mineral lain, gas alam, sawit, dan banyak lagi lainnya. Ini dilakukan sebagai jalan untuk memperkuat kembali sektor industri. Presiden Jokowi pun berkali-kali mengungkapkan perlunya hilirisasi industri sebagai cikal bakal untuk penguatan sektor industri.

Berikutnya, Didik memberikan usulan agar pemerintah menjalankan strategi kebijakan ekonomi outward looking yang artinya strategi berorientasi keluar dengan pilar kebijakan ekspor dan investasi yang berkualitas, dalam arti lain bukan investasi yang mengeruk pasar dalam negeri.

“Strategi ini dalam sejarah ekonomi modern sudah dilakukan semua negara maju, yang sukses melewati jebakan pendapatan menengah (middle income trap), seperti Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, Cina dan akan menyusul Vietnam, yang sudah menyalip Indonesia,” ujarnya.

Didik menjelaskan, kebijakan ini pernah dijalankan Indonesia pada tahun 1980-an. Juga menjadi best practice dari kebijakan ekonomi Indonesia yang pernah ada.

Hal ini perlu dilakukan, karena jika tidak, maka menurut Didik Indonesia akan mengalami stagnasi sebagai negara berpendapatan menengah bawah (kisaran US$4000 per kapita selama tujuh tahun) dan sering tergelincir menjadi negara berpendapatan menengah ke bawah. Di akhir cerita, Didik mengatakan jika dirinya mendengar Presiden berkenan menerima undangan INDEF atau pertemuan klub 100 ekonom pada September mendatang.

“Mudah-mudahan semua pertanyaan dan masukan ekonom seperti saya uraikan ini berkenan untuk didengar selain dari bawahannya,” tuturnya.


Artikel ini bersumber dari www.alinea.id.

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!